Senin, 30 Mei 2016

[Night Of Diaries] Yang Nikah Muda

Tepat jam 7 pagi kami telah meluncur dari Jakarta menuju Soreang, Bandung. Ibu saya mengenakan kebaya berwarna kuning emas, saya berwarna merah muda sementara adik perempuan saya berwarna merah. Lengkap pula dengan tata rias yang langsung dibuat oleh makeup artist profesional. Hanya bapak dan adik laki-laki saya yang tidak ribet dengan segala dandanan dari atas kepala hingga ujung kaki ini. Saya saja memilih menggunakan celana jeans ketimbang rok kebayanya. Lebih fleksibel.

Karna suatu alasan kami tiba sekitar jam 10 disana. Dengan kecewa ibu saya pikir kami melewatkan akad, padahal akad saja sudah dilaksanakan 2 minggu yang lalu di mesjid depan rumah kakek saya. “Kan aku udah bilang bu, si eneng udah akad” ucap saya.



Setelah bercipika-cipikidirumah kakek saya, kami segera menuju tempat saudara saya yang menikah. Jaraknya dekat. Namanya juga di kampung, dimana bila masih ada ikatan darah alias saudara, pasti tempat tinggalnya masih disitu-situ juga. Kami mendekati sang pengantin, tak lupa saya memeluk si mempelai wanita yang sebaya dengan saya itu. Mengucapkan selamat, begitupun dengan dia yang menanyakan kapan kami sampai. Setelah berfoto, lantas kami langsung menyantap hidangan yang ada disana. Yang kemudian kami ketahui bahwa kami adalah tamu pertama yang makan saat itu. Dasar orang Jakarta, baru dateng langsung udah makan.

Saya tahu, bahwa nikah muda di kampung memang sudah biasa. Tetapi walaupun terbiasa, saya tetap tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut sewaktu mendengar kabar dari orang kampung bahwa saudara saya yang lahir seminggu setelah saya itu hendak menikah pada bulan Mei 2016.

“Si eneng suaminya orang mana bu?” tanya saya
“Orang Purwakarta” jawab ibu saya sambil menyetrika baju
“Ohh.. Kok bisa kenalan? Aku pikir orang satu desa juga”
“Kenal di pesbuk katanya”
“Hah?!”
“Malah suaminya kerja proyek. Bareng bapaknya”
“Wow~ Proyek bangunan gitu bu? Bagus dong”
“Bagus darimana? Orang proyek tukang bangunan!”
“Hah?! Yang... mikul-mikul gitu bu?”
“Iya!”

Jujur saja, tidak pernah menyangka pernikahan di kampung bisa se-'sederhana' itu setelah ibu saya bercerita dua hari lalu.

Dikampung, dengan segala kesederhanaannya dan keterbatasannya (yang saya kagumi karna terkadang tidak dijadikan beban oleh warga sana), pernikahan memiliki banyak arti yang tidak begitu berarti. Pernikahan itu mudah. Si bujang cukup bermodalkan kemauan dan anggukan orang tuanya untuk bersedia memberikan modal kawin, untuk bisa satu kasur dengan si gadis. Tidak perlu memiliki pekerjaan yang mapan dulu. Apalagi ia harus sarjana, semua persyaratan layaknya hendak melamar pekerjaan sungguh tidak dibutuhkan. Cukup bilang ke emak-bapak betapa demennya si pria, maka voila!. Berbondonglah mereka melamar ke rumah si gadis.

Pun syukur-syukur bila pihak gadis juga mau ikut andil dalam modal kawin yang tidak kecil dan bahkan tidak jarang harus mengorbankan sawah turun-temurun milik keluarga. Maka bila itu terjadi, istilahnya menjadi patungan modal kawin. Jadi, bisa dibilang orang tua lah yang menyelenggarakan perhelatan perkawinan putra-putrinya yang masih abege tersebut.

Pernikahan juga jawaban. Seorang gadis yang lulus hingga sekolah SMA pun setelahnya pasti dinikahkan bila tidak mau bekerja. Bahkan adapula yang memutuskan berhenti sekolah karena mau menikah. Capek dengan segala beban pelajaran yang ternyata tidak bermanfaat dirumah. “Mau kawin aja pak!” dan “Udah kawin aja sana!” adalah dua kalimat yang sering kita dengar dari orang-orang kampung. Intinya, yang penting sama-sama suka. Titik.

Marriage isn't supposed to make you happy - and satisfied. It's your job to make your marriage happy - and satisfying.” - Diane Sollee (Positive Marriage Quotes)

Pernah saya bertanya adakah batasan umur bagi orang kampung untuk menikah? Misalnya pada umur sekian dia akan disebut perawan tua. Jawabannya ialah, tidak ada. “Yang ada usia muda, nikahnya udah berkali-kali!” jawab ibu saya sambil menyemprotkan pengharum di celana anaknya. Misalnya, ada yang berusia 24 tahun telah menikah 3 kali. Hmm.. rupanya sejelek apapun wajahnya seorang gadis di kampung, tidak akan ada bujang yang tidak mau menikahinya. Seakan dikampung sendiri tidak ada standar bagi siapa-yang-hendak-saya-nikahi. Bahkan bila bujang mendapatkan perawan geulis, hal tersebut bisa dibilang mereka mendapatkan jackpot tersendiri wkwk.

Ada banyak cara kita memandang pernikahan muda. Pun pernikahannya memiliki banyak sisi, entah itu positif atau negatif tergantung dari perspektif mana yang kita gunakan. Muda disini ialah antara usia 17-19 tahun, atau minimal ia sudah memiliki KTP. Bisa jadi para remaja tersebut menikah sebagai wujud penghalalan hubungan suami-istri, yang biasanya dipasrahkan dengan kalimat keluarga; namanya udah jodoh. Daripada berbuat zinah?

Lantas, apakah kawin muda hanya terjadi di kampung? Teman saya yang sebaya di perkotaan cukup banyak yang sudah menikah juga. Bedanya alasan yang digunakan. Di kota metropolitan, dimana orang-orangnya sudah menjadi kaum kapitalisme, shotgun-wedding alias pernikahan dini yang dilakukan umumnya karna sudah tekdung duluan. Mungkin dulu keluarga akan malu dengan hal itu, tapi kini kita sudah tidak takut lagu untuk cengar-cengir saat duduk disamping pacar yang memberikan spermanya pada kita. Apakah itu hal buruk?

Saya akan terus terang, saya suka kasihan melihat wanita yang menikah diusia 18 tahun karena tekdung duluan. Ia dengan rela putus sekolah, menguburkan mimpi-mimpinya setelah lulus SMA mau menjadi apa. Apalagi tidak sedikit kasus ia yang ditinggalkan teman-teman lamanya karena mereka jijik dengannya yang hamil duluan. Walaupun hal tersebut sudah menjadi bagian dari resiko yang harus ditanggung. Saya juga kagum, mereka yang memutuskan untuk membesarkan buah hatinya diusia muda daripada menggugurkan si cabang bayi yang tidak berdosa. Saya yakin, kalian akan menjadi sosok ibu yang hebat bagi anak kalian.

Memang menikah tidak melihat umur, tapi cobalah berpikir lebih rasional. Tujuan hidup bukan hanya untuk menikah. Ingatlah satu pemahaman, yakni saat menikah artinya orang tua melepaskan sang anak untuk memiliki kehidupan sendiri, saat itu pula tanggung jawab orang tua sudah tidak ada, karna tanggung jawab atas hidupnya berada ditangan suami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar