Tepat
jam 7 pagi kami telah meluncur dari Jakarta
menuju Soreang, Bandung. Ibu saya mengenakan kebaya berwarna kuning
emas, saya berwarna merah muda sementara adik perempuan saya berwarna
merah. Lengkap pula dengan tata rias yang langsung dibuat oleh makeup
artist profesional.
Hanya bapak dan adik laki-laki saya yang tidak ribet dengan segala
dandanan dari atas kepala hingga ujung kaki ini. Saya saja memilih
menggunakan celana jeans ketimbang rok kebayanya. Lebih fleksibel.
Karna
suatu alasan kami tiba sekitar jam 10 disana. Dengan kecewa ibu saya
pikir kami melewatkan akad, padahal akad saja sudah dilaksanakan 2
minggu yang lalu di mesjid depan rumah kakek saya. “Kan aku udah
bilang bu, si eneng
udah akad” ucap saya.
Setelah
bercipika-cipikidirumah kakek saya, kami segera menuju tempat saudara
saya yang menikah. Jaraknya dekat. Namanya juga di kampung, dimana
bila masih ada ikatan darah alias saudara, pasti tempat tinggalnya
masih disitu-situ juga. Kami mendekati sang pengantin, tak lupa saya
memeluk si mempelai wanita yang sebaya dengan saya itu. Mengucapkan
selamat, begitupun dengan dia yang menanyakan kapan kami sampai.
Setelah berfoto, lantas kami langsung menyantap hidangan yang ada
disana. Yang kemudian kami ketahui bahwa kami adalah tamu pertama
yang makan saat itu. Dasar
orang Jakarta, baru dateng langsung udah makan.
Saya
tahu, bahwa nikah muda di kampung memang sudah biasa. Tetapi walaupun
terbiasa, saya tetap tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut sewaktu
mendengar kabar dari orang kampung bahwa saudara saya yang lahir
seminggu setelah saya itu hendak menikah pada bulan Mei 2016.
“Si
eneng suaminya orang mana bu?” tanya saya
“Orang
Purwakarta” jawab ibu saya sambil menyetrika baju
“Ohh..
Kok bisa kenalan? Aku pikir orang satu desa juga”
“Kenal
di pesbuk
katanya”
“Hah?!”
“Malah
suaminya kerja proyek. Bareng bapaknya”
“Wow~
Proyek bangunan gitu bu? Bagus dong”
“Bagus
darimana? Orang proyek tukang bangunan!”
“Hah?!
Yang... mikul-mikul gitu bu?”
“Iya!”
Jujur
saja, tidak pernah menyangka pernikahan di kampung bisa
se-'sederhana'
itu setelah ibu saya bercerita dua hari lalu.
Dikampung,
dengan segala kesederhanaannya dan keterbatasannya (yang saya kagumi
karna terkadang tidak dijadikan beban oleh warga sana), pernikahan
memiliki banyak arti yang tidak begitu berarti.
Pernikahan itu mudah. Si bujang cukup bermodalkan kemauan dan
anggukan orang tuanya untuk bersedia memberikan modal
kawin, untuk
bisa satu kasur dengan si gadis. Tidak perlu memiliki pekerjaan yang
mapan dulu. Apalagi ia harus sarjana, semua persyaratan layaknya
hendak melamar pekerjaan sungguh tidak dibutuhkan. Cukup bilang ke
emak-bapak betapa
demennya si
pria, maka voila!.
Berbondonglah
mereka melamar ke rumah si gadis.
Pun
syukur-syukur bila pihak gadis juga mau ikut andil dalam modal
kawin yang
tidak kecil dan bahkan tidak jarang harus mengorbankan sawah
turun-temurun milik keluarga. Maka bila itu terjadi, istilahnya
menjadi patungan
modal kawin. Jadi,
bisa dibilang orang tua lah yang menyelenggarakan perhelatan
perkawinan putra-putrinya yang masih abege
tersebut.
Pernikahan
juga jawaban. Seorang gadis yang lulus hingga sekolah SMA pun
setelahnya pasti dinikahkan bila tidak mau bekerja. Bahkan adapula
yang memutuskan berhenti sekolah karena mau menikah. Capek dengan
segala beban pelajaran yang ternyata tidak
bermanfaat dirumah.
“Mau kawin aja pak!”
dan
“Udah
kawin aja sana!”
adalah
dua kalimat yang sering kita dengar dari orang-orang kampung.
Intinya, yang
penting sama-sama suka. Titik.
“Marriage
isn't supposed to make you happy - and satisfied. It's your job to
make your marriage happy - and satisfying.” - Diane
Sollee (Positive Marriage Quotes)
Pernah saya bertanya adakah batasan umur bagi orang kampung untuk
menikah? Misalnya pada umur sekian dia akan disebut perawan tua.
Jawabannya ialah, tidak ada. “Yang ada usia muda, nikahnya udah
berkali-kali!” jawab ibu saya sambil menyemprotkan pengharum di
celana anaknya. Misalnya, ada yang berusia 24 tahun telah menikah 3
kali. Hmm.. rupanya sejelek apapun wajahnya seorang gadis di kampung,
tidak akan ada bujang yang tidak mau menikahinya. Seakan dikampung
sendiri tidak ada standar bagi siapa-yang-hendak-saya-nikahi.
Bahkan bila bujang mendapatkan perawan geulis,
hal tersebut bisa dibilang mereka mendapatkan jackpot
tersendiri
wkwk.
Ada
banyak cara kita memandang pernikahan muda. Pun pernikahannya
memiliki banyak sisi, entah itu positif atau negatif tergantung dari
perspektif mana yang kita gunakan. Muda disini ialah antara usia
17-19 tahun, atau minimal ia sudah memiliki KTP. Bisa jadi para
remaja tersebut menikah sebagai wujud penghalalan
hubungan
suami-istri, yang biasanya dipasrahkan dengan kalimat keluarga;
namanya udah
jodoh. Daripada
berbuat zinah?
Lantas,
apakah kawin muda
hanya
terjadi di kampung? Teman saya yang sebaya di perkotaan cukup banyak
yang sudah menikah juga. Bedanya alasan yang digunakan. Di kota
metropolitan, dimana orang-orangnya sudah menjadi kaum kapitalisme,
shotgun-wedding
alias pernikahan dini yang dilakukan umumnya karna sudah tekdung
duluan.
Mungkin dulu keluarga akan malu dengan hal itu, tapi kini kita sudah
tidak takut lagu untuk cengar-cengir saat duduk disamping pacar yang
memberikan spermanya pada kita. Apakah itu hal buruk?
Saya
akan terus terang, saya suka kasihan melihat wanita yang menikah
diusia 18 tahun karena tekdung
duluan.
Ia dengan rela putus sekolah, menguburkan mimpi-mimpinya setelah
lulus SMA mau menjadi apa. Apalagi tidak sedikit kasus ia yang
ditinggalkan teman-teman lamanya karena mereka jijik
dengannya
yang hamil duluan. Walaupun hal tersebut sudah menjadi bagian dari
resiko yang harus ditanggung. Saya juga kagum, mereka yang memutuskan
untuk membesarkan buah hatinya diusia muda daripada menggugurkan si
cabang bayi yang tidak berdosa. Saya yakin, kalian akan menjadi sosok
ibu yang hebat bagi anak kalian.
Memang
menikah tidak melihat umur, tapi cobalah berpikir lebih rasional.
Tujuan hidup bukan hanya untuk menikah. Ingatlah satu pemahaman,
yakni saat
menikah artinya orang tua melepaskan sang anak untuk memiliki
kehidupan sendiri, saat itu pula tanggung jawab orang tua sudah tidak
ada, karna tanggung jawab atas hidupnya berada ditangan suami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar