Pernah
kutanya,
adakah
surga untuk Re: yang bergelimang dosa?
Jawabmu,
semua orang berkalung salah dan dosa.
Tak
ada yang bisa jangkau surga,
kecuali
karena ampunanNya.
Re:,
katamu, Tuhan bagi siapa saja!
Sambil
menanti film AADC 2, saya
dan teman berkutik dalam gelutan buku-buku Gramedia di sebuah mall
daerah Daan Mogot yang terbilang kecil. Berpencar lah kami, ia menuju
rak buku mengenai pola desain bangunan sedangkan saya berkeliling
hendak mencari novel terbitan Metropop. Tetapi
langkah saya terhenti ditengah tumpukan novel-novel tipis. “Ahh
novel teenlit” pikir saya. Kemudian mata
saya tertuju pada sebuah novel dengan desain yang amat menarik. Penuh
warna. Saya baca bagian belakang berharap menemukan ringkasannya,
sayang... saya hanya menemukan dua kalimat disana berupa peringatan.
Saya letakkan kembali novel tersebut. Meraih novel sebelahnya, masih
dengan penulis yang sama. Kali ini saya mengangguk membaca bagian
belakang novel tersebut, tetapi sayang... saya tidak menemukan novel
itu yang sudah tidak dibungkus plastik sebagai ulah kejahilan tangan
pengunjung lain hehe. Masih
untung costumer yang
pasti membeli, lah kalau orang hanya masuk hendak liat-liat alias
pengunjung, masa iya tangannya berani iseng?. Mata saya tak hentinya
menelusuri novel-novel tipis tersebut, hingga pada satu novel. Tanpa
ragu saya mengambil novel yang kebetulan warna cover
nya sama dengan harga nya; biru.
Apa
yang membuat sebuah novel menarik untuk dibaca? Salah satunya ialah
imbuhan kisah nyata.
Re:
perempuan berusia 21 tahun dengan satu anak, bekerja sebagai pelacur.
Jumlah hutang yang katanya ia
miliki, memaksanya menjadi pelacur dibawah naungan Mami Lani. Bila
kita identiknya dengan pelacur ialah pekerja seks para lelaki, lain
hal nya dengan Re:, pelacur lesbian. Yang
berarti ia (bersama teman-temannya) hanya melayani wanita saja. Dari
satu wanita hingga sekelompok atau seorang wanita biasa hingga
konglomerat, akan mereka layani. Yang penting adalah ba-ya-ran-nya.
Tak ragu pula para pelanggan Mami tsb membayar berkali-kali lipat
demi seks dengan
pelacur lesbian.
Lantas
apa yang membuat Re: dan teman-temannya menjadi pelacur lesbian?
Apakah lesbian lebih
aman dari penyakit? Apakah
memang murni hanya hutang atau tuntutan ekonomi? Mengapa para pelacur
itu tidak kabur saja? Dan segelintir pertanyaan lainnya yang ada di
kepala kita. Jawabannya ada di dalam novel karya Maman Suherman ini.
Berlatarkan era 80'an, dengan tempat dan waktu yang sering kita
lewati (di Jakarta) sangat memudahkan bagi kita untuk menggambarkan
senyata apakah kisah Re: ini. Walaupun mengangkat tema yang cukup
berat mengingat kejadian beberapa belakangan mengenai topik serupa,
Kang Maman (sapaannya) menyajikan novel berjumlah 154 halaman ini
dengan penuturan yang apa adanya serta gaya penulisan yang sederhana.
Sehingga kita tidak perlu khawatir kebingungan saat membacanya. Belum
lagi yang menambahkan daya jual novel ini ialah label kisah nyata.
Memang tidak ditemukan label tsb di bagian novel, tetapi dengan
pernyataan sang penulis bahwa ia menulis berdasarkan skripsi ia buat
berpuluh tahun yang lalu.
Bila
biasanya novel-novel melahirkan mantra ajaib
yang dijadikan kalimat motivasi, tetapi tidak
dengan goresan tinta Kang Maman ini. Dalam novel terbitan 2014 ini
tidak ditemukan quotes yang
berarti. Selain untuk membuatnya real,
penggunaan kalimat simpel juga bisa menjadi
tamparan bahwa kita tidak perlu menjadi (sok)
pintar untuk mengetuk hati dan pikiran orang. Satu
kata untuk menjelaskannya ialah sederhana. Hal
ini wajar terjadi mengingat tokoh utama Re: bukanlah seorang pujangga
apalagi akademisi. Sehingga kalimat yang ia lontarkan pun apa adanya.
Bahasa rakyat. Bahasa sehari-hari. Bahasa yang sering kita gunakan
dan dengar. Tetapi apakah itu hal buruk? Belum tentu. Justru hal ini
yang menjadi nilai lebih pada karya keempatnya Kang Maman. Sebab apa
yang diucapkan Re: kerap kali tidak terpikirkan oleh kita yang sudah
berpikir rumit. Apalagi
bagi kita yang suka merasa pintar, rasanya bagaikan tamparan ocehan
Re: yang sering mengkritisi kehidupan.
Ironisnya tak jarang kita yang berpendidikan
tinggi malah dikritisi kehidupan. Oleh
sebab itu, ketimbang menyajikan quotes Kang
Maman memilih penggambaran kejadian yang berarti. Yang mengena
dan berkesan pada pembaca.
Ia diam
terpaku. Air matanya meleleh.
“Kamu
saja.Datangi dia, dan peluk dia,” jawabnya lirih
“Lha, ngapain
kamu kemari kalau harus aku juga yang memeluknya.”
“Sudah, kamu
kesana, peluk dia..... Peluk dia, untukku.”
“Kamu saja
sendiri.”
“Gue
keringetan.”
“Nggak
apa-apa. Ayo, sana....”
“Gue ini
pelacur.....,” kata Re: nyaris tak terdengar. “Jangan sampai
ditubuhnya melekat keringat pelacur. Peluk dia untukku.”
Re:
bukanlah pelopor gerakan reformasi perubahan untuk para pelacur,
apalagi pahlawan yang namanya bisa ditemukan dibuku sejarah. Ia tidak
menyelamatkan banyak orang, bahkan ia tidak menyelamatkan dirinya
sendiri. Ia hanyalah orang biasa, penduduk pada umumnya, bukan orang
terkenal. Pun setelah kita mengenalnya melalui novel ini, kita tetap
tidak tahu seperti apa rupa sosoknya. Re: adalah momok bagi
masyarakat, karena ia seorang pelacur lesbian.
Tetapi Re: juga manusia, juga seorang wanita,
juga seorang ibu. Seorang ibu dari putri semata wayang yang kini
bergelar PhD dan MBA dari universitas di Jepang. Re: gagal menjadi
sosok ibu ideal pada umumnya. Disaat para ibu lain bangun
shubuh-shubuh untuk menyiapkan bekal bagi anak mereka, Re: bangun
pagi untuk bersiap menuju tempat pelanggannya. Pada siang hari para
ibu mencuci pakaian anak dan suami, Re: tengah menjilati vagina
pelanggannya. Re: adalah pelacur lesbian. Re:
adalah sampah masyarakat. Bahkan temannya Shinta pernah berkata;
“Kita harus berhenti. Tapi mau kerja apa?
Kerja jadi orang baik-baik? Emangnya bisa? Kalaupun bisa, emangnya
orang lain mau terima lonte? Bekas lonte?. Lonte itu sepertinya saja
hidup karena masih bernapas, padahal sudah mati. Sering dianggap
bukan manusia. Kalau sudah tidak diperlukan, dibuang begitu saja.
Dikejar-kejar seperti coro. Diinjak-injak sampai nggak berbentuk!”
Ada
banyak hal yang sebenarnya berpotensi dibahas lebih mendalam oleh
penulis. Makanya saya sedikit kecewa mengingat betapa tipisnya novel
terbitan penerbit KPG ini. Walaupun masih ada kelanjutan kisah Re: di
sekuel peREmpuan, saya
tetap tidak puas. Saya berharap Kang Maman mau menyajikannya dalam
bentuk novel setebal lima ratusan, sehingga kita pembaca dapat
memiliki ikatan dengan sang tokoh. Tidak hanya rasa iba yang muncul,
tapi ada sebuah ikatan kuat yang lebih intim.
Terakhir,
bila perjalanan Re: diangkat menjadi film festival (bukan komersil)
saya 100% akan mendukung dan menontonnya. Saya harap Kang Maman
menjajal jadi sutradara lalu menyusul kesuksesan Djenar Maesa Ayu
hehe. Apalagi saya
juga akan menantikan siapakah sosok yang mampu menggambarkan Re: di
dunia ini dengan brilian, sosok yang membuka pikiran kita apakah
hidup untuk bekerja, atau bekerja untuk hidup?
idola banget emang tuh tulisannya pas maman
BalasHapus