Kamu
pernah
senandungkan itu
di
satu malam tak berbintang
kala
engkau melangitkan cintamu
dan
bertanya:
masihkah
ada surga
untuk
seorang perempuan
seperti
aku?
Sebelumnya
saya ingin berterima kasih kepada my
dear truk-gandeng friend,
yang telah menghadiahkan novel ini Jumat lalu. Karena terhimpit oleh
waktu saya baru bisa membuat review
novel sekuel buatan Kang
Maman ini. Padahal tangan rasanya sudah gatal ingin cepat-cepat
mengetik. Apalagi ingatan masih hangat-hangatnya setelah memakan
habis novel tsb hehe
Pada
awalnya saya menebak peREmpuan
akan menyajikan sudut
pandang Re:. Tetapi setelah saya baca tuntas novel yang cetakan
pertamanya ini bulan Mei 2016, saya pikir hal tersebut tidak lah
diperlukan. Penulis tidak mungkin membuat sekuel berdasarkan pelaku
utama. Saya yakin Kang Maman dengan kelihaian tangannya mampu membuat
kisah hidup Re: menjadi tipikal melow-drama.
Tetapi beliau sadar,
bisa saja apa yang akan ia paparkan tidak menggambarkan sepenuhnya
apa yang terjadi. Ia memang merasakan keperihan dalam hatinya, tetapi
ia tahu bahwa keperihan yang ia alami tidaklah cukup untuk menulis
kisah hidup Re: lebih mendalam. Apalagi Re: yang bisa jadi mengalami
keperihan jauh lebih pedih. Sehingga daripada memperpanjang
kepiluan Re:, Kang Maman
membuat kisah kelanjutan dengan memfokuskan orang-orang disekitar
Re:, termasuk dirinya. Bagaimana kelanjutan hidupnya setelah
ditinggal sang pemilik hati dibunuh. Apakah ia mampu melanjutkan roda
kehidupan yang terus berputar? Siapakah pelaku pembunuhan Re:?
Bagaimana kabar Melur? Putri semata wayang Re:. Apakah ia tahu bahwa
ia lahir dari rahim sang pelacur lesbian?
Siapakah ayah kandung Melur?
Kita abaikan pertanyaan
terakhir mengingat hal itu tidak akan terjawab dalam novel sekuel
ini.
Ada
dua perbedaan paling besar antara Re: dan peREmpuan ialah bahasa yang
digunakan dalam penyajiannya. Bila dinovel bersampul biru sebelumnya
penulis menyajikan dengan sudut pandang seorang mahasiswa, yang tentu
saja membuat gaya tulisan sangat mudah dicerna, lain hal nya dengan
sekuel bersampul orange
ini. Kali ini Kang Maman
sungguh membuat novel menjadi sebuah diarinya. Apalagi latar waktu
kejadian novel peREmpuan adalah berpuluh tahun kemudian setelah
kematian Re:. Dimana penulis telah menginjak umur kepala lima, bahkan
telah memiliki dua anak. Dan putri sulungnya yang menurut perhitungan
saya sudah seusia dengan Re: sewaktu meninggal. Tentu saja dengan
bertambahnya umur, tentu menyajikan pandangannya pula turut berbeda.
Tata bahasa yang jauh lebih berat dan kompleks telah sukses
menggambarkan bahwa salah satu tokoh utama juga telah tumbuh
menjadi orang besar yang
kini memiliki prestige.
Sehingga hal tersebut
sukses membuat pembaca merasakan perbedaan waktu.
Kemudian
perbedaan kedua ialah titik fokus permasalahan yaitu terjadinya
pergeseran pelaku utama yakni dari Re: sang pelacur ke kehidupan yang
merasakan
betul keberadaannya. Tidak hanya secara langsung seperti penulis
tetapi juga sang anak Melur yang kini telah sukses di negeri Sakura.
Atau sesekali penulis menyisipkan kehidupan prositusi
masa kini yang malah
sudah dijadikan hobi oleh para mahasiswa bahkan seorang putra/i
pejabat.
“Masalahku dan masalahmu
sama saja. Juga masalah semua orang. Ukurannya hanya segenggam
tangan. Nggak lebih nggak kurang. Semua punya penderitaan,” katanya
sejurus kemudian.
“Rasa asin, kecut
penderitaan yang kita alami itu sangat bergantung dari besarnya hati
yang menampungnya,” lanjutnya
“Kalau hatimu hanya
sebesar gelas, asin derita itu akan sangat kau rasakan. Tapi kalau
seluas danau, tak lagi asin itu kau rasakan” jawabku pada Melur,
menggambarkan derita Re:, yang dirasakan dan pernah diucapkan
langsung oleh Re:.
Sayangnya
saya terlanjur memiliki ekspektasi tinggi terhadap sekuel ini. Banyak
halaman yang saya skip,
yakni
saat
membahas teori kriminologi dsb. Saya sempat menyerah untuk
menuntaskan novel ini, rasanya sudah ingin ditaruh saja di rak buku.
Tetapi saya sadar mungkin keterbatasan ilmulah yang menjadi pemicu
malasnya saya untuk meneruskan. Belum lagi adegan pengakuan ibu
kandung Melur yang sangat klise. Well,
itu
terjadi karena memang begitu apa adanya kan? Apalagi seringnya
terjadi pengulangan (yang guna menjadi penekanan betapa bangganya si
penulis dan almarhumah Re:) terhadap gelar Melur.
Saya
sepenuhnya sadar bahwa saya hanya pembaca amatir, pun penilaian saya
terhadap novel masih amatir. Dan bagaimanapun bila diminta jujur,
saya kecewa dengan novel peREmpuan. Porsi yang disajikan mengenai si
pelaku; Herman dan Melur tidak seimbang. Terlalu banyak teori yang
membuat terkesan novel ini menjenuhkan. Seakan memaksakan agar novel
memiliki halaman berjumlah sekian. Saya bingung bagaimana
menjelaskannya, tetapi dalam paruh beberapa chapter
terasa
begitu hambar. Apalagi terjadi penumpukkan yang membuat endingnya
terkesan; that's
it?.
Seandainya,
beberapa teori atau pembahasan yang benar-benar tidak perlu
dihilangkan atau diganti dengan pembahasan mengenai keluarganya.
Misalnya bagaimana pengaruh eksistensi Re: terhadap Sekar, sang istri
kedua?.
Apakah benar hanya berupa penerimaan begitu saja? Saya berharap unsur
kehidupan Herman lebih digali mengingat ia pernah memiliki srikandi
di dalam hatinya. Srikandi yang pergi disalib tiang listrik, yang
juga membawa separuh hatinya. Apakah
istrinya tidak cemburu? Seberapa ketabahannya kan hatinya menerima
segala yang dimiliki Herman? Sejauh mana Re: mempengaruhi
kehidupannya selain dari mimpi-mimpi tersebut? Saya mengatakan
demikian mengingat sebenarnya Sekar adalah tokoh yang tidak kalah
kuat (dengan definisi berbeda dari Re:).
Saya
dibuat lebih bingung lagi dengan ditemukannya salah ketik alias typo
disana
sini. Kalau typo
dalam
kesalahan pengetikkan seperti kekurangan satu huruf dalam satu kata
masih bisa dimaklumi, tetapi bila terdapat kesalahan penyebutan tokoh
yang seharusnya A tetapi malah menjadi B, lain lagi kasusnya.
Overall
walaupun tidak fresh
seperti
novel sebelumnya,
saya
mau mengapresiasi Kang Maman yang telah membuka jendela kehidupan
dunia Re:.
Saya berterima kasih kepada beliau yang telah bersedia menuangkan
sepenggal kisah Re: dan hidupnya sendiri dalam beratus lembar kertas.
Saya juga berencana hendak meminjam skripsi buatannya bila di perpus
UI masih ada hehe
Oh
ya, terakhir saya pernah membaca ada seorang pembaca yang men-tweet
Kang Maman di @maman1965
meminta dibuat kan sekuel selanjutnya menggunakan sudut pandang
Melur. Hmm... saya pikir novel-novel tersebut tidak perlu menjadi
trilogi. Bahkan apabila dilakukan saya berharap itu bukan bagiannya,
sebab malah akan menjadi perjalanan Melur meraih S3, menuju
kesuksesan sebagai anak dari pelacur
lesbian.
Wah padahal saya berniat beli bukunya. Baca review ini, aku kok jadi ga tergiur :(
BalasHapusIni kan baru review dari satu pembaca, yakni saya. Coba dicari review dari blog lain juga, soalnya masih banyak kok yang berpendapat peREmpuan adalah novel yang bagus ^^
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusMenurut saya buku ini bagus,kang Maman berhasil membuat satu buku tiga rasa, yaitu,surat kabar(berita),buku pelajaran (ilmu pengetahuan) dan cerita fiksi(novel)...
BalasHapusbukunya bagus nih, bisa beli dimana ya?
BalasHapus