Selasa, 24 Mei 2016

[Novel] peREmpuan Oleh Maman Suherman

Kamu
pernah senandungkan itu
di satu malam tak berbintang
kala engkau melangitkan cintamu
dan bertanya:
masihkah ada surga
untuk seorang perempuan
seperti
aku?

Sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada my dear truk-gandeng friend, yang telah menghadiahkan novel ini Jumat lalu. Karena terhimpit oleh waktu saya baru bisa membuat review novel sekuel buatan Kang Maman ini. Padahal tangan rasanya sudah gatal ingin cepat-cepat mengetik. Apalagi ingatan masih hangat-hangatnya setelah memakan habis novel tsb hehe

Pada awalnya saya menebak peREmpuan akan menyajikan sudut pandang Re:. Tetapi setelah saya baca tuntas novel yang cetakan pertamanya ini bulan Mei 2016, saya pikir hal tersebut tidak lah diperlukan. Penulis tidak mungkin membuat sekuel berdasarkan pelaku utama. Saya yakin Kang Maman dengan kelihaian tangannya mampu membuat kisah hidup Re: menjadi tipikal melow-drama. Tetapi beliau sadar, bisa saja apa yang akan ia paparkan tidak menggambarkan sepenuhnya apa yang terjadi. Ia memang merasakan keperihan dalam hatinya, tetapi ia tahu bahwa keperihan yang ia alami tidaklah cukup untuk menulis kisah hidup Re: lebih mendalam. Apalagi Re: yang bisa jadi mengalami keperihan jauh lebih pedih. Sehingga daripada memperpanjang kepiluan Re:, Kang Maman membuat kisah kelanjutan dengan memfokuskan orang-orang disekitar Re:, termasuk dirinya. Bagaimana kelanjutan hidupnya setelah ditinggal sang pemilik hati dibunuh. Apakah ia mampu melanjutkan roda kehidupan yang terus berputar? Siapakah pelaku pembunuhan Re:? Bagaimana kabar Melur? Putri semata wayang Re:. Apakah ia tahu bahwa ia lahir dari rahim sang pelacur lesbian? Siapakah ayah kandung Melur?
Kita abaikan pertanyaan terakhir mengingat hal itu tidak akan terjawab dalam novel sekuel ini.

Ada dua perbedaan paling besar antara Re: dan peREmpuan ialah bahasa yang digunakan dalam penyajiannya. Bila dinovel bersampul biru sebelumnya penulis menyajikan dengan sudut pandang seorang mahasiswa, yang tentu saja membuat gaya tulisan sangat mudah dicerna, lain hal nya dengan sekuel bersampul orange ini. Kali ini Kang Maman sungguh membuat novel menjadi sebuah diarinya. Apalagi latar waktu kejadian novel peREmpuan adalah berpuluh tahun kemudian setelah kematian Re:. Dimana penulis telah menginjak umur kepala lima, bahkan telah memiliki dua anak. Dan putri sulungnya yang menurut perhitungan saya sudah seusia dengan Re: sewaktu meninggal. Tentu saja dengan bertambahnya umur, tentu menyajikan pandangannya pula turut berbeda. Tata bahasa yang jauh lebih berat dan kompleks telah sukses menggambarkan bahwa salah satu tokoh utama juga telah tumbuh menjadi orang besar yang kini memiliki prestige. Sehingga hal tersebut sukses membuat pembaca merasakan perbedaan waktu.

Kemudian perbedaan kedua ialah titik fokus permasalahan yaitu terjadinya pergeseran pelaku utama yakni dari Re: sang pelacur ke kehidupan yang merasakan betul keberadaannya. Tidak hanya secara langsung seperti penulis tetapi juga sang anak Melur yang kini telah sukses di negeri Sakura. Atau sesekali penulis menyisipkan kehidupan prositusi masa kini yang malah sudah dijadikan hobi oleh para mahasiswa bahkan seorang putra/i pejabat.

Masalahku dan masalahmu sama saja. Juga masalah semua orang. Ukurannya hanya segenggam tangan. Nggak lebih nggak kurang. Semua punya penderitaan,” katanya sejurus kemudian.
Rasa asin, kecut penderitaan yang kita alami itu sangat bergantung dari besarnya hati yang menampungnya,” lanjutnya
Kalau hatimu hanya sebesar gelas, asin derita itu akan sangat kau rasakan. Tapi kalau seluas danau, tak lagi asin itu kau rasakan” jawabku pada Melur, menggambarkan derita Re:, yang dirasakan dan pernah diucapkan langsung oleh Re:.

Sayangnya saya terlanjur memiliki ekspektasi tinggi terhadap sekuel ini. Banyak halaman yang saya skip, yakni saat membahas teori kriminologi dsb. Saya sempat menyerah untuk menuntaskan novel ini, rasanya sudah ingin ditaruh saja di rak buku. Tetapi saya sadar mungkin keterbatasan ilmulah yang menjadi pemicu malasnya saya untuk meneruskan. Belum lagi adegan pengakuan ibu kandung Melur yang sangat klise. Well, itu terjadi karena memang begitu apa adanya kan? Apalagi seringnya terjadi pengulangan (yang guna menjadi penekanan betapa bangganya si penulis dan almarhumah Re:) terhadap gelar Melur.

Saya sepenuhnya sadar bahwa saya hanya pembaca amatir, pun penilaian saya terhadap novel masih amatir. Dan bagaimanapun bila diminta jujur, saya kecewa dengan novel peREmpuan. Porsi yang disajikan mengenai si pelaku; Herman dan Melur tidak seimbang. Terlalu banyak teori yang membuat terkesan novel ini menjenuhkan. Seakan memaksakan agar novel memiliki halaman berjumlah sekian. Saya bingung bagaimana menjelaskannya, tetapi dalam paruh beberapa chapter terasa begitu hambar. Apalagi terjadi penumpukkan yang membuat endingnya terkesan; that's it?.

Seandainya, beberapa teori atau pembahasan yang benar-benar tidak perlu dihilangkan atau diganti dengan pembahasan mengenai keluarganya. Misalnya bagaimana pengaruh eksistensi Re: terhadap Sekar, sang istri kedua?. Apakah benar hanya berupa penerimaan begitu saja? Saya berharap unsur kehidupan Herman lebih digali mengingat ia pernah memiliki srikandi di dalam hatinya. Srikandi yang pergi disalib tiang listrik, yang juga membawa separuh hatinya. Apakah istrinya tidak cemburu? Seberapa ketabahannya kan hatinya menerima segala yang dimiliki Herman? Sejauh mana Re: mempengaruhi kehidupannya selain dari mimpi-mimpi tersebut? Saya mengatakan demikian mengingat sebenarnya Sekar adalah tokoh yang tidak kalah kuat (dengan definisi berbeda dari Re:).
Saya dibuat lebih bingung lagi dengan ditemukannya salah ketik alias typo disana sini. Kalau typo dalam kesalahan pengetikkan seperti kekurangan satu huruf dalam satu kata masih bisa dimaklumi, tetapi bila terdapat kesalahan penyebutan tokoh yang seharusnya A tetapi malah menjadi B, lain lagi kasusnya.

Overall walaupun tidak fresh seperti novel sebelumnya, saya mau mengapresiasi Kang Maman yang telah membuka jendela kehidupan dunia Re:. Saya berterima kasih kepada beliau yang telah bersedia menuangkan sepenggal kisah Re: dan hidupnya sendiri dalam beratus lembar kertas. Saya juga berencana hendak meminjam skripsi buatannya bila di perpus UI masih ada hehe

Oh ya, terakhir saya pernah membaca ada seorang pembaca yang men-tweet Kang Maman di @maman1965 meminta dibuat kan sekuel selanjutnya menggunakan sudut pandang Melur. Hmm... saya pikir novel-novel tersebut tidak perlu menjadi trilogi. Bahkan apabila dilakukan saya berharap itu bukan bagiannya, sebab malah akan menjadi perjalanan Melur meraih S3, menuju kesuksesan sebagai anak dari pelacur lesbian.

5 komentar:

  1. Wah padahal saya berniat beli bukunya. Baca review ini, aku kok jadi ga tergiur :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini kan baru review dari satu pembaca, yakni saya. Coba dicari review dari blog lain juga, soalnya masih banyak kok yang berpendapat peREmpuan adalah novel yang bagus ^^

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Menurut saya buku ini bagus,kang Maman berhasil membuat satu buku tiga rasa, yaitu,surat kabar(berita),buku pelajaran (ilmu pengetahuan) dan cerita fiksi(novel)...

    BalasHapus
  4. bukunya bagus nih, bisa beli dimana ya?

    BalasHapus