Terlepas
dari ikatan kolega kampus dan bisnis diperusahaan, pernahkan melihat
pertemanan antar warga pribumi dan chinese? Kita
tau warga chinese umumnya
identik dengan latar belakang high class, memiliki
derajat yang tinggi kedudukannya di tanah air. Berbeda dengan warga
pribumi yang jumlah menengahnya lebih banyak dibanding yang memiliki
prestige. Karena
terlahir berbeda dan dibesarkan dilingkungan yang berbeda, rasanya
pertemanan antar ras tsb menjadi pemandangan yang aneh. Rare.
Selain perbedaan
latar belakang, bisik-bisik tetangga juga didapuk menjadi penghalang
antar dua ras tersebut dalam menjalin ikatan pertemanan. Seperti
image orang chinese yang identik dengan
cipe
alias cina pelit hingga sebaliknya yang memandang warga pribumi rasis
dan suka bertindak anarkis.
Teman
dekat saya berkuliah ditempat yang jumlah mahasiswa minoritasnya
lebih banyak dibanding warga mayoritas. Artinya lebih dominan para
chinese dibanding
pribumi. Dia bercerita bahwa pertemanan beda ras sering kali menjadi
buah bibir dikampusnya. Tak jarang mereka yang berteman dengan beda
ras, sering kali diserang dengan pertanyaan oleh sesamanya; kok
mau sih temanan sama dia?. Termasuk
teman saya yang juga ikut dilemparkan pertanyaan itu.
Kemudian
ia bercerita keluhannya dikelilingi kaum yang sama
dari
kecil. Saya pikir ia hanyalah bosan dengan lingkungan
makanya bersedia menjalin ikatan pertemanan dengan saya. Entah
mencoba pengalaman yang baru atau memang sudah gerah dengan kebosanan
itu.
Pada
awalnya memang agak sulit berteman dengan teman saya yang satu itu.
Sebab kami datang dari ras berbeda. Ia yang berkulit putih dan bila
tersenyum matanya hilang, sementara saya gadis kurus berkulit cokelat
sawo matang. Kami bermodalkan hobi
yang sama
mencoba mendobrak tembok pembatas tsb. Tapi lambat laun saya sadar,
sebenarnya yang lebih mempengaruhi sebuah pertemanan dapat terjadi
ialah bagaimana kita saling memperlakukan satu sama lain. Dan
bagaimana efek kesamaan hobi itu ternyata menjadi senjata yang ampuh
untuk meruntuhkan perbedaan-perbedaan yang ada.
Lucunya,
teman saya itu juga sering menjelekkan kaumnya sendiri. Ia kerap
berkata bahwa teman-temannya sering bermuka dua. Berpura-pura baik
dan ramah didepannya kemudian dibelakang membicarakan kejelekkannya.
“Kalo
kaya gitu wajar deh. Saya pikir itu bukannya bermaksud muka dua, tapi
lebih berusaha memberikan kesan
dengan
baik. Apalagi mengingat kalian terbiasa dengan didikan untuk menjaga
image.
Kita harus ingat tidak semua hal sebenarnya
bisa dikatakan jujur terutama menjadi orang yang blak-blakan
terhadap
temannya. Saya pikir, teman-teman mu seperti itu karena tidak
ingin menyakiti perasaan orang yang bersangkutan dengan mengatakan
kejelekkannya secara langsung. Saya
menganggapnya itu adalah sebuah bagian dari kesopanan.”
Teman
saya mengangguk. Lalu ia bercerita bahwa temannya pernah mengalami
diskriminasi
dalam mobil berwarna merah itu. “Temanku
balik
marahin abangnya gara-gara rasis gitu” ujarnya. Ia juga kembali
bercerita pengalaman yang pernah dialami dalam sebuah grup chat.
Teman-temannya
bersumpah serapah mengenai kaum chinese.
Entah mungkin mereka tidak tahu bahwa teman saya chinese
atau
memang melupakan keberadaannya.
Nah
kalau kasusnya seperti yang diceritakan teman saya, itu jelas-jelas
keburukkannya warga pribumi. Yang hobi
menilai suatu kaum berdasarkan satu anggotanya. Ahh
saya sendiri sebagai orang kota Kembang sudah lelah menghadapi warga
pribumi yang chinesephobia.
Yang
saya mau singgung ialah mengapa di zaman yang sudah canggih ini,
dimana tidak ada lagi batas-batas kebudayaan, pertemanan antara
chinese dan
pribumi begitu jarang ditemukan? Bahkan masih saja terjadi rasisme
diantara kaum muda. Saya rasa sudah bukan zamannya lagi kita
pengkotak-kotakkan pertemanan antar ras. Karna kita bukan hidup
dizaman purbakala. Kita hidup dizaman yang bahkan drama Turki saja
sudah bisa ditonton tanpa tv parabola. Mengapa kita tidak berani
menjalin pertemanan dengan beda ras? Mengapa kita warga pribumi
enggan berteman dengan warga chinese?
Mengapa
kita warga chinese
sukar
berteman dengan warga pribumi? Karena kita takut dan sombong. Takut
akan semua hal itu palsu, takut bila ternyata ia orang jahat. Sombong
karena kita warga chinese
lebih
hebat dari pribumi, bahwa saya
tidak membutuhkan kalian orang kecil. Sombong
karena kita warga pribumi,
yang
hidup di tanah kelahirannya sendiri, di tanah milik nenek moyang
sendiri. Tidak menumpang.
Padahal
bila mengizinkan diri untuk menjalin pertemanan, hal tsb menjadi
pengalaman tersendiri dan bahkan menjadi terbaru. Misalnya beberapa
hari yang lalu saya meet
up dengan
teman chinese
saya.
Saya yang haus meminta
rekomendasinya tempat membeli minuman yang kira-kira belum saya coba,
ia mengangguk dan mengantar saya ke tempat itu. Saat mengantri lalu
memesan minuman milktea dengan
jelly bean, saya
berpikir Ohh, jadi disini para chinese beli minuman.
Bahkan pelayan bagian kasir saja orang chinese wkwk.
Setelah menunggu seperempat jam,
teman saya mengajak makan disebuah restoran. Tak lama ia memanggil
pelayan yang mengenakan seragam kuning dan menanyakan sebuah makanan
di dalam menu. “Itu daging babi, Kak” ujar si pelayan. Teman saya
menggeleng, mengatakan “Saya pesan nasi karage aja,
Mbak”. Ahh.. benar juga, ia tidak suka daging hewan tanpa
bulu itu. Saya melihat
sekeliling, restoran berangsur menjadi ramai. Walaupun saat itu bukan
weekend, banyak remaja
tanggung hingga pegawai datang untuk sekedar berbincang atau memang
hendak mengisi perut. Lalu saya sadar bahwa, saya kini tengah terjun
di dalam dunia chinese. Asik.
Saya
menulis ini sekedar sharing bahwa
pertemanan beda ras sungguh menjadi pengalaman spesial tersendiri.
Mengingat banyak hal yang bisa kami pelajari satu sama lain. Well,
tidak perlu memaksa untuk
menjalin pertemanan beda ras. Yang perlu diutamakan dahulu adalah
menghapus pemikiran jelek antar ras, karena sebenarnya secara tidak
sadar kita justru memperkuat tembok batas
antar ras itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar