Jumat, 20 Mei 2016

[Night Of Diaries] Berteman Beda Ras

Terlepas dari ikatan kolega kampus dan bisnis diperusahaan, pernahkan melihat pertemanan antar warga pribumi dan chinese? Kita tau warga chinese umumnya identik dengan latar belakang high class, memiliki derajat yang tinggi kedudukannya di tanah air. Berbeda dengan warga pribumi yang jumlah menengahnya lebih banyak dibanding yang memiliki prestige. Karena terlahir berbeda dan dibesarkan dilingkungan yang berbeda, rasanya pertemanan antar ras tsb menjadi pemandangan yang aneh. Rare.

Selain perbedaan latar belakang, bisik-bisik tetangga juga didapuk menjadi penghalang antar dua ras tersebut dalam menjalin ikatan pertemanan. Seperti image orang chinese yang identik dengan cipe alias cina pelit hingga sebaliknya yang memandang warga pribumi rasis dan suka bertindak anarkis.

Teman dekat saya berkuliah ditempat yang jumlah mahasiswa minoritasnya lebih banyak dibanding warga mayoritas. Artinya lebih dominan para chinese dibanding pribumi. Dia bercerita bahwa pertemanan beda ras sering kali menjadi buah bibir dikampusnya. Tak jarang mereka yang berteman dengan beda ras, sering kali diserang dengan pertanyaan oleh sesamanya; kok mau sih temanan sama dia?. Termasuk teman saya yang juga ikut dilemparkan pertanyaan itu.
Kemudian ia bercerita keluhannya dikelilingi kaum yang sama dari kecil. Saya pikir ia hanyalah bosan dengan lingkungan makanya bersedia menjalin ikatan pertemanan dengan saya. Entah mencoba pengalaman yang baru atau memang sudah gerah dengan kebosanan itu.

Pada awalnya memang agak sulit berteman dengan teman saya yang satu itu. Sebab kami datang dari ras berbeda. Ia yang berkulit putih dan bila tersenyum matanya hilang, sementara saya gadis kurus berkulit cokelat sawo matang. Kami bermodalkan hobi yang sama mencoba mendobrak tembok pembatas tsb. Tapi lambat laun saya sadar, sebenarnya yang lebih mempengaruhi sebuah pertemanan dapat terjadi ialah bagaimana kita saling memperlakukan satu sama lain. Dan bagaimana efek kesamaan hobi itu ternyata menjadi senjata yang ampuh untuk meruntuhkan perbedaan-perbedaan yang ada.


Lucunya, teman saya itu juga sering menjelekkan kaumnya sendiri. Ia kerap berkata bahwa teman-temannya sering bermuka dua. Berpura-pura baik dan ramah didepannya kemudian dibelakang membicarakan kejelekkannya.

“Kalo kaya gitu wajar deh. Saya pikir itu bukannya bermaksud muka dua, tapi lebih berusaha memberikan kesan dengan baik. Apalagi mengingat kalian terbiasa dengan didikan untuk menjaga image. Kita harus ingat tidak semua hal sebenarnya bisa dikatakan jujur terutama menjadi orang yang blak-blakan terhadap temannya. Saya pikir, teman-teman mu seperti itu karena tidak ingin menyakiti perasaan orang yang bersangkutan dengan mengatakan kejelekkannya secara langsung. Saya menganggapnya itu adalah sebuah bagian dari kesopanan.”

Teman saya mengangguk. Lalu ia bercerita bahwa temannya pernah mengalami diskriminasi dalam mobil berwarna merah itu. “Temanku balik marahin abangnya gara-gara rasis gitu” ujarnya. Ia juga kembali bercerita pengalaman yang pernah dialami dalam sebuah grup chat. Teman-temannya bersumpah serapah mengenai kaum chinese. Entah mungkin mereka tidak tahu bahwa teman saya chinese atau memang melupakan keberadaannya.

Nah kalau kasusnya seperti yang diceritakan teman saya, itu jelas-jelas keburukkannya warga pribumi. Yang hobi menilai suatu kaum berdasarkan satu anggotanya. Ahh saya sendiri sebagai orang kota Kembang sudah lelah menghadapi warga pribumi yang chinesephobia.

Yang saya mau singgung ialah mengapa di zaman yang sudah canggih ini, dimana tidak ada lagi batas-batas kebudayaan, pertemanan antara chinese dan pribumi begitu jarang ditemukan? Bahkan masih saja terjadi rasisme diantara kaum muda. Saya rasa sudah bukan zamannya lagi kita pengkotak-kotakkan pertemanan antar ras. Karna kita bukan hidup dizaman purbakala. Kita hidup dizaman yang bahkan drama Turki saja sudah bisa ditonton tanpa tv parabola. Mengapa kita tidak berani menjalin pertemanan dengan beda ras? Mengapa kita warga pribumi enggan berteman dengan warga chinese? Mengapa kita warga chinese sukar berteman dengan warga pribumi? Karena kita takut dan sombong. Takut akan semua hal itu palsu, takut bila ternyata ia orang jahat. Sombong karena kita warga chinese lebih hebat dari pribumi, bahwa saya tidak membutuhkan kalian orang kecil. Sombong karena kita warga pribumi, yang hidup di tanah kelahirannya sendiri, di tanah milik nenek moyang sendiri. Tidak menumpang.

Padahal bila mengizinkan diri untuk menjalin pertemanan, hal tsb menjadi pengalaman tersendiri dan bahkan menjadi terbaru. Misalnya beberapa hari yang lalu saya meet up dengan teman chinese saya. Saya yang haus meminta rekomendasinya tempat membeli minuman yang kira-kira belum saya coba, ia mengangguk dan mengantar saya ke tempat itu. Saat mengantri lalu memesan minuman milktea dengan jelly bean, saya berpikir Ohh, jadi disini para chinese beli minuman. Bahkan pelayan bagian kasir saja orang chinese wkwk. Setelah menunggu seperempat jam, teman saya mengajak makan disebuah restoran. Tak lama ia memanggil pelayan yang mengenakan seragam kuning dan menanyakan sebuah makanan di dalam menu. “Itu daging babi, Kak” ujar si pelayan. Teman saya menggeleng, mengatakan “Saya pesan nasi karage aja, Mbak”. Ahh.. benar juga, ia tidak suka daging hewan tanpa bulu itu. Saya melihat sekeliling, restoran berangsur menjadi ramai. Walaupun saat itu bukan weekend, banyak remaja tanggung hingga pegawai datang untuk sekedar berbincang atau memang hendak mengisi perut. Lalu saya sadar bahwa, saya kini tengah terjun di dalam dunia chinese. Asik.

Saya menulis ini sekedar sharing bahwa pertemanan beda ras sungguh menjadi pengalaman spesial tersendiri. Mengingat banyak hal yang bisa kami pelajari satu sama lain. Well, tidak perlu memaksa untuk menjalin pertemanan beda ras. Yang perlu diutamakan dahulu adalah menghapus pemikiran jelek antar ras, karena sebenarnya secara tidak sadar kita justru memperkuat tembok batas antar ras itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar