Sabtu, 28 Mei 2016

[Night Of Diaries] Jadi Cerita Sendiri

Dengan langkah masygul, saya berjalan menuju ruang tengah. Memperhatikan kerepotan ibuhanda, nenekhanda, dan tantehanda yang membawa besrek dari restoran di mall bergambar unta.
“Manyun aja” sapa paman
“Laper lagi, om” jawab saya
“Lah, bukannya habis makan? Hahaha kurus-kurus makannya banyak juga” timpalnya

Saya duduk bersila dilantai, sembari berpikir hendak diisi dengan makanan apa ini perut. Tidak tega membiarkannya bersedih lebih lama. Perlukah saya masak mie? Eh-

Sekelebat saya berkata pada nenek saya hendak makan di warteg dekat rumah. Dan tentu saja minta ditemani hehe. Kami berjalan tidak lama, karna jarak warteg itu hanya sekitar lima meter. Dengan mangkok berwarna biru ditangan, nenek saya meminta dimasakkan mie oleh si penjual. “Gak pedes ya bu!” tambah saya.

Menunggu sekitar lima belas menit, masakan sederhana nan mantap itu telah disajikan didepan saya. Yaaa... bagaimanapun juga, sejujurnya saya sudah muak dengan makanan mall.

“Sana pergi duluan, nenek mau disini dulu bentar”
“Yaudah kalo gitu aku makan disini aja”

Lalu si penjual yang masih ingat dengan saya memberikan segelas air mineral. Ia menanyakan banyak hal pada saya, dari mulai udah punya pacar apa belum (pertanyaan menjebak) hingga pertanyaan seputar kuliah.

Memang tidak salah saya memilih makan ditempat dibanding dirumah. Angin malam semeriwing mengibaskan rambut, yang sangat berguna juga untuk mendinginkan makanan didepan mata saya. Sebelah kanan ada empang yang bila menjelang agustusan selalu dikuras oleh warga, guna menjadi lapangan tempat berlomba. Kemudian ingatan saya terlempar pada beberapa kenangan lama. Bukan. Bukan kenangan bersama pujaan hati. Lah wong ini kenangan saya masih duduk dikelas 2 SD.

Saya juga pernah menjadi salah satu peserta di berbagai lomba agustusan. Makan kerupuk, membawa kelereng disendok yang digigit dimulut, balap karung yang jatuh lalu menangis kemudian bangkit lagi lompat-lompat tidak mau kalah, mengambil belut lalu dimasukkan dalam botol, lomba kuis yang saya gak pernah menang karna selalu salah eja dan lomba favorit saya, yakni mengambil uang receh yang ditusuk ke semangka menggunakan mulut. Dan serunya, semangka yang sudah terlihat seperti bola kamehameha itu juga dibaluri arang, lumpur, dan macam-macam deh. Biasanya diadukan per tim, dan tiap tim berisi 3-5 orang. Sebenarnya yang rasakan asik bukan bermain kotor-kotoran itu, melainkan mendapatkan uang receh yang lumayan untuk beli tajos. Apalagi kami yang masih bocah ingusan sudah bosan dengan hadiah buku dan pensil. Belum lagi bila panitia berbajukan kaos biru dengan tulisan dipunggung “Karang Taruna” berbaik hati memberikan potongan semangka pada kami.

Bu, saya minta air lagi boleh? Agak pedes soalnya”
“Wahh, padahal cuma pake sebutir lho cabenya” katanya sambil menuangkan dari teko. Saya hanya menyengir, mengucapkan terima kasih sejurus dengan meminum air digelas kecil itu.

Only looking at beautiful memories and blue sky. My town where I can see the biggest star. In spring when sun shines warmly and flowers bloom. Life with no regret. Memories when being poor I was happy. The memory keeps coming to my head” - Jeong Eunji (정은지) – Hopefully Sky (하늘바라기) (Feat. 하림)

Ahh.. masih jernih betul ingatan saya tentang masa kecil. Gadis yang sering dikepang tinggal bersama neneknya di rumah berkaca satu arah. Saat itu kawasan tempat tinggal kami belum elit. Masih sederhana. Pun orang-orangnya sederhana, selalu dipenuhi keramah-tamahan. Tidak ada yang disebut si kaya. Tidak ada yang disebut si miskin.

Mesjid yang dulu digunakan untuk mengaji kini sudah dilengkapi kanopi bagian luarnya, sehingga bila tarawih tidak perlu lagi takut kehujanan. Sayangnya Alm. Pak Ustadz (guru ngaji saya) telah berpulang kepada YMK. Padahal beliau adalah guru mengaji terbaik yang kami (para bocah) miliki. Dimulai dari jam 1 siang, kami menyalin apa yang ditulis pak ustad dipapan tulis hitam. Dengan galak, beliau tidak segan menyabet siapa saja yang berisik menggunakan kalam dari rotan. Tak jarang pula saking galaknya, saya suka gemetar maju kedepan bila diminta membaca. Kemudian jam 3 siang kami istirahat. Yaa.. macam sekolah gitu pake istirahat. Yang perempuan pergi ke warung lalu ngobrol dipinggir kali yang tersedia tempat duduk, sengaja dibuat pak ustad rupanya. Yang laki-laki bermodalkan benang layangan dan seonggok kaleng sarden, main kapal-kapalan dikali ckck. Benangnya diikat pada besi jembatan ceritanya ckck. Adapula yang bermain bola di tanah kosong seberang kali. Atau kadang kami berfusion bermain didekat pohon yang akarnya muncul sampai kedasar tanah. Biasanya kumandang adzan sebagai penanda bahwa jam ngaji akan dimulai lagi. Lalu pada pukul 4 sore, jadwal bagi kami untuk membantu pak ustad membersihkan mesjid dan sekitarnya. Bila saya bayangkan saat ini, sungguh rajin sekali sosok kecil saya hehe. Waktu itu saya yang tingginya hanya sepinggul orang dewasa, berani terjun ke dalam got alias comberan yang berair hitam untuk mengorek sampah-sampah yang menyumbat. Sementara teman saya mengguyur dari ujung lainnya.

Mulut saya memerah karena kepedesan, nekat menyeruput kuah di mangkok. Menyelamatkan sayuran sawi yang tenggelam di dalam mangkok. Menengok sekitar, berharap salah satu teman lama akan datang. Hendak melihat seberubah apakah mereka. Apakah mereka sama berubahnya dengan tempat-tempat didaerah ini? Atau mereka menghilang seperti beberapa tempat. Seperti pohon belimbing yang dulu saya dan teman saya sering panjat saat pulang les.

Tanah kosong seberang pinggir kali yang biasa tempat para lanang bermain bola kini sudah ditimpa kontarakan tiga pintu. Pun jamban yang saya pakai bila kebelet dan terletak diujung kali juga sudah digusur oleh kontrakan berdinding putih itu. Lain lagi dengan akar pohon pinggir kali yang kini sudah dimakan air coklat.

Tanah dipinggir empang yang kini saya sedang makan juga telah diganti menjadi lahan parkiran.

Lapangan rumput yang cukup jauh dari rumah, yang dulu menjadi tempat perhelatan sepak bola antar RW, yang dulu tempat para abang-abang es serut warna-warni mangkal, yang dulu teman-teman saya gemar bermain layangan, yang dulu tempat saya berguling bersalto walaupun gagal, yang dulu ditiap akhir bulan menjadi tempat main ombak-ombakan oleh para abang-abang yang lari-lari menariknya, kini berubah semenjak negara api menyerang (Hah?!) maksudnya kini disulap menjadi taman bermain. Lengkap dengan empang buatan yang langsung ditanda tangani oleh Pak Gubernur. Tidak luput juga ruang serba guna yang lantainya selalu mengkilap itu.

Saya juga bertanya-tanya bagaimana keadaan tempat rental PSX. Bermodalkan uang jajan sekolah yang maksa disimpen buat main Tony Hawk, seorang gadis ditengah-tengah kerumunan anak cowok. Serunya bila tante saya yang juga senang main PSX, meminjam punya temannya untuk main dirumah. Crash Bandicoot dan Harvest Moon: BTN menjadi favorit kami ckck.

“Udah makannya?” tegur nenek
“Eh? Udah” kaget lamunan saya dipecahnya
“Mau pulang?”

Saya mengangguk sembari memberikan uang berwarna ungu kepada penjual, saya dan nenek pamit hendak pulang.

Memang kenangan saya tidak terjadi di pedesaan. Melainkan tepat di kota besar. Tetapi bagi saya, memori itu lebih dari cukup bahkan menjadi spesial diingatan saya. Terkadang saat saya mengunjungi rumah nenek saya itu, ada perasaan; sama seperti warna tembok dinding rumah-rumah disini, warna kehidupan yang dulu saya rasakan juga telah hilang.

Baiklah... Saya mungkin akan bermain Bloody Roar 2 di komputer rumah yang sudah saya instal emulatornya untuk sekedar menghibur hati wkwk. Atau mungkin Shaolin Soccer yang bisa ngilmu nendangnya, satu-satunya permainan sepak bola yang saya hingga kini bisa menang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar