Dengan
langkah masygul, saya berjalan menuju ruang tengah. Memperhatikan
kerepotan ibuhanda, nenekhanda, dan tantehanda yang membawa besrek
dari
restoran di mall bergambar unta.
“Manyun aja”
sapa paman
“Laper lagi,
om” jawab saya
“Lah, bukannya
habis makan? Hahaha kurus-kurus makannya banyak juga” timpalnya
Saya duduk bersila
dilantai, sembari berpikir hendak diisi dengan makanan apa ini perut.
Tidak tega membiarkannya bersedih lebih lama. Perlukah saya masak
mie? Eh-
Sekelebat
saya berkata pada nenek saya hendak makan di warteg dekat rumah. Dan
tentu saja minta ditemani hehe.
Kami
berjalan tidak lama, karna jarak warteg itu hanya sekitar lima meter.
Dengan mangkok berwarna biru ditangan, nenek saya meminta dimasakkan
mie oleh si penjual. “Gak pedes ya bu!” tambah saya.
Menunggu sekitar
lima belas menit, masakan sederhana nan mantap itu telah disajikan
didepan saya. Yaaa... bagaimanapun juga, sejujurnya saya sudah muak
dengan makanan mall.
“Sana pergi
duluan, nenek mau disini dulu bentar”
“Yaudah kalo
gitu aku makan disini aja”
Lalu
si penjual yang masih ingat dengan saya memberikan segelas air
mineral. Ia menanyakan banyak hal pada saya, dari mulai udah
punya pacar apa belum (pertanyaan menjebak) hingga pertanyaan seputar
kuliah.
Memang
tidak salah saya memilih makan ditempat dibanding dirumah. Angin
malam semeriwing
mengibaskan
rambut, yang sangat berguna juga untuk mendinginkan makanan didepan
mata saya. Sebelah kanan ada empang
yang
bila menjelang agustusan
selalu
dikuras oleh warga, guna menjadi lapangan tempat berlomba. Kemudian
ingatan saya terlempar pada beberapa kenangan lama. Bukan. Bukan
kenangan bersama pujaan hati. Lah
wong ini
kenangan saya masih duduk dikelas 2 SD.
Saya
juga pernah menjadi salah satu peserta di berbagai lomba agustusan.
Makan
kerupuk, membawa kelereng disendok yang digigit dimulut, balap karung
yang jatuh lalu menangis kemudian bangkit lagi lompat-lompat tidak
mau kalah, mengambil belut lalu dimasukkan dalam botol, lomba kuis
yang saya gak pernah menang karna selalu salah eja dan lomba favorit
saya, yakni mengambil uang receh yang ditusuk ke semangka menggunakan
mulut. Dan serunya, semangka yang sudah terlihat seperti bola
kamehameha itu
juga dibaluri arang, lumpur, dan macam-macam deh. Biasanya diadukan
per tim, dan tiap tim berisi 3-5 orang. Sebenarnya yang rasakan asik
bukan bermain kotor-kotoran itu, melainkan mendapatkan uang receh
yang lumayan untuk beli tajos.
Apalagi kami yang masih bocah ingusan sudah bosan dengan hadiah buku
dan pensil. Belum lagi bila panitia berbajukan kaos biru dengan
tulisan dipunggung “Karang Taruna” berbaik hati memberikan
potongan semangka pada kami.
“Bu, saya minta
air lagi boleh? Agak pedes soalnya”
“Wahh, padahal
cuma pake sebutir lho cabenya” katanya sambil menuangkan dari teko.
Saya hanya menyengir, mengucapkan terima kasih sejurus dengan meminum
air digelas kecil itu.
“Only
looking at beautiful memories and blue sky. My town where I can see
the biggest star. In spring when sun shines warmly and flowers bloom.
Life with no regret. Memories when being poor I was happy. The memory
keeps coming to my head” - Jeong Eunji (정은지)
– Hopefully Sky (하늘바라기)
(Feat. 하림)
Ahh..
masih jernih betul ingatan saya tentang masa kecil. Gadis yang sering
dikepang tinggal bersama neneknya di rumah berkaca satu arah. Saat
itu kawasan tempat tinggal kami belum elit.
Masih
sederhana. Pun orang-orangnya sederhana, selalu dipenuhi
keramah-tamahan. Tidak ada yang disebut si kaya. Tidak ada yang
disebut si miskin.
Mesjid
yang dulu digunakan untuk mengaji kini sudah dilengkapi kanopi bagian
luarnya, sehingga bila tarawih
tidak
perlu lagi takut kehujanan. Sayangnya Alm. Pak Ustadz (guru ngaji
saya) telah berpulang kepada YMK. Padahal beliau adalah guru mengaji
terbaik yang kami (para bocah) miliki. Dimulai dari jam 1 siang, kami
menyalin apa yang ditulis pak ustad dipapan tulis hitam. Dengan
galak, beliau tidak segan menyabet
siapa
saja yang berisik menggunakan kalam
dari
rotan. Tak jarang pula saking galaknya, saya suka gemetar maju
kedepan bila diminta membaca. Kemudian jam 3 siang kami istirahat.
Yaa.. macam sekolah gitu pake
istirahat.
Yang
perempuan pergi ke warung lalu ngobrol dipinggir kali yang tersedia
tempat duduk, sengaja dibuat pak ustad rupanya. Yang laki-laki
bermodalkan benang layangan dan seonggok
kaleng sarden, main kapal-kapalan dikali ckck.
Benangnya
diikat pada besi jembatan ceritanya ckck.
Adapula
yang bermain bola di tanah kosong seberang kali.
Atau
kadang kami berfusion
bermain
didekat pohon yang akarnya muncul sampai kedasar tanah. Biasanya
kumandang adzan sebagai penanda bahwa jam ngaji akan dimulai lagi.
Lalu pada pukul 4 sore, jadwal bagi kami untuk membantu pak ustad
membersihkan mesjid dan sekitarnya. Bila saya bayangkan saat ini,
sungguh rajin sekali sosok
kecil saya
hehe. Waktu
itu saya yang tingginya hanya sepinggul orang dewasa, berani terjun
ke dalam got alias
comberan yang
berair hitam untuk mengorek
sampah-sampah
yang menyumbat. Sementara teman saya mengguyur dari ujung lainnya.
Mulut
saya memerah karena kepedesan, nekat menyeruput kuah di mangkok.
Menyelamatkan sayuran sawi yang tenggelam di dalam mangkok. Menengok
sekitar, berharap salah satu teman lama akan datang. Hendak melihat
seberubah apakah mereka. Apakah mereka sama berubahnya dengan
tempat-tempat didaerah ini? Atau mereka menghilang seperti beberapa
tempat. Seperti pohon belimbing yang dulu saya dan teman saya sering
panjat saat pulang
les.
Tanah
kosong seberang pinggir kali yang biasa tempat para lanang
bermain
bola kini sudah ditimpa kontarakan tiga pintu. Pun jamban
yang saya pakai bila kebelet dan terletak diujung kali juga sudah
digusur oleh kontrakan berdinding putih itu. Lain lagi dengan akar
pohon pinggir kali yang kini sudah dimakan air coklat.
Tanah dipinggir
empang yang kini saya sedang makan juga telah diganti menjadi lahan
parkiran.
Lapangan
rumput yang cukup jauh dari rumah, yang dulu menjadi tempat
perhelatan sepak bola antar RW, yang dulu tempat para abang-abang es
serut warna-warni mangkal,
yang
dulu teman-teman saya gemar bermain layangan, yang dulu tempat saya
berguling bersalto walaupun gagal, yang dulu ditiap
akhir bulan menjadi tempat main ombak-ombakan
oleh
para abang-abang yang lari-lari menariknya, kini berubah semenjak
negara api menyerang (Hah?!)
maksudnya kini disulap menjadi taman bermain. Lengkap dengan empang
buatan yang langsung ditanda tangani oleh Pak Gubernur. Tidak luput
juga ruang serba guna yang lantainya selalu mengkilap itu.
Saya
juga bertanya-tanya bagaimana keadaan tempat rental PSX. Bermodalkan
uang jajan sekolah yang maksa disimpen buat main Tony
Hawk, seorang
gadis ditengah-tengah kerumunan anak cowok. Serunya bila tante saya
yang juga senang main PSX, meminjam punya temannya untuk main
dirumah. Crash
Bandicoot dan
Harvest Moon: BTN
menjadi
favorit kami ckck.
“Udah
makannya?” tegur nenek
“Eh? Udah”
kaget lamunan saya dipecahnya
“Mau pulang?”
Saya mengangguk
sembari memberikan uang berwarna ungu kepada penjual, saya dan nenek
pamit hendak pulang.
Memang
kenangan saya tidak terjadi di pedesaan. Melainkan tepat di kota
besar. Tetapi bagi saya, memori itu lebih dari cukup bahkan menjadi
spesial diingatan saya. Terkadang saat saya mengunjungi rumah nenek
saya itu, ada perasaan; sama seperti warna tembok
dinding rumah-rumah disini, warna kehidupan yang dulu saya rasakan
juga telah hilang.
Baiklah...
Saya mungkin akan bermain Bloody
Roar 2 di komputer rumah
yang sudah saya instal emulatornya untuk sekedar menghibur hati wkwk.
Atau mungkin Shaolin
Soccer yang bisa ngilmu
nendangnya, satu-satunya
permainan sepak bola yang saya hingga kini bisa menang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar