Minggu, 16 Oktober 2016

[Night Of Diaries] Tim Baru, Lingkungan Baru

Akhir-akhir ini saya tidak sempat update blog pribadi, padahal otak rasanya tidak kuat menahan ide dikepala dan hati tidak kuat menahan curahan yang hendak tumpah. Pun alasan saya tidak sempat masih berhubungan dengan kesibukkan pekerjaan dan kuliah. Maklum saja dua bulan belakangan saya masih proses adaptasi dilingkungan bekerja yang baru, di bidang perbankan. Bidang yang bahkan saya sendiri tidak pernah mencicipinya, yang rata-rata pekerjanya kuliah jurusan yang bersangkutan (entah jurusan ekonomi, akuntansi walaupun sebenarnya agak berbeda dengan perbankan dsb). Belum lagi jam terbangnya yang belum pernah saya rasakan di pekerjaan saya sebelumnya yakni bekerja jam kantor, Senin-Jumat.

Saya menjadi teller berblazer biru di salah satu bank daerah Kota Tua. Lumayan dekat dari rumah sehingga saya cukup bersyukur ditempatkan di daerah tersebut. Akan selalu ada suatu hal yang menjadi 'pertama kali'. Kalimat itu yang selalu saya ingat saat pertama kali terjun di cabang saya yang memiliki gedung dengan tiga lantai itu. Dengan seragam hitam putih dan badan kecil berambut pendek, saya tidak malu bertanya pada senior-senior yang ada, mereka yang terlebih dahulu berkecimpung dalam dunia teller.

Tidak mudah. Dua kata yang cocok menggambarkan bagaimana pekerjaan seorang teller itu. Lantas bukan berarti sulit. Saya akui memang takjub melihat kelincahan jari-jari para senior saya saat pertama kali tiba di cabang. Dengan kecepatan seperti itu mereka sudah menyelesaikan transaksi dalam hitungan detik.

Tapi.... kita akhiri basa-basi mengenai kehidupan pekerjaan menjadi teller. Sesuai dengan judul post ini, saya juga akan sharing lingkungan tempat saya bekerja ini. Mengapa saya sebut tempat? Karna tidak semua cabang memiliki atmosfer yang sama. Sehingga saya hanya tok bercerita tentang cabang saya.

First of all, there something wrong with this kind evironment. Saya menyadari hal itu dikala sudah mendapatkan seragam. Saat saya juga dituntut sudah menguasai semua transaksi kecuali valuta asing.

Pimpinan cabang saya seorang wanita. Bila diperkirakan usianya mungkin sebaya dengan Ibu saya, sekitar awal 40-an atau pertengahannya. Ia sosok pemimpin yang bisa dibilang cuek. Sehingga tidak kaget bila bawahannya (tim saya dan costumer service) begitu sukar dengan dirinya. Hal tersebut terjadi yang mungkin saja, hanya mungkin karena ibu pimpinan berambut panjang itu tidak dekat dengan bawahannya. Ia jarang berbincang dengan bawahannya kecuali bila terjadi sesuatu. Belum lagi sikapnya yang terlihat pilh kasih dalam memberikan job desk kepada para tim. Saya melihat ada sebuah kerenggangan hubungan antara pimpinan berkulit putih ini dengan para bawahannya yang meliputi tim teller dan costumer service. Bahkan setiap petuah ibu pimpinan selalu menjadi trending topic oleh tim untuk dijadikan kata-kata olokkan. Misalnya, sewaktu-waktu saya pernah mengikuti diskusi cabang untuk pembagian job desk atau PIC dari sebuah tugas. Saat itu kami juga sambil makan makanan ringan untuk mengganjal perut karna tahu akan pulang lebih larut dari biasanya. Saya yang terbiasa dengan budaya membiarkan atasan makan terlebih dahulu cukup terkaget dengan tingkah para rekan saya. Mereka langsung saja menyantap hidangan tersebut sambil berbicara mengenai usulan salah satu anggota. Tidak membutuhkan waktu 15 menit makanan mereka sudah habis, sementara ibu pimpinan saya baru memakan dua buah roti bakar yang dipotong kecil-kecil. Saya pikir “Ah, apakah kita tidak kehilangan respek dengan menghabiskan makanan duluan dan cuek terhadap diskusi ini. Sementara pimpinan kita begitu hikmat mendengarkan tiap kata yang kita ucapkan?”. Kejadian lainnya, belum lama ini terjadi. 

Saat kami di tuntut untuk tampil dalam acara DFL (Diskusi Frontliner). Kebetulan jam latihan kami bentrok dengan jam diskusi asuransi saat itu. Beberapa tim bahkan menolak mentah-mentah untuk latihan karena tidak mau pulang larut. Benarlah itu terjadi. Setelah diskusi asuransi yang selesai jam 6 sore, semua tim kompak beranjak dari tempat duduk dan mengambil tasnya untuk pulang. Bahkan menghindari pertanyaan ibu pimpinan yang bertanya mengenai latihannya. “Kita gak latihan?” tanya saya, yang kemudian dijawab dengan pertanyaan lain “Lu mau pulang malem? Gue sih ogah!”. Padahal... ibu pimpinan sudah menyiapkan pizza hangat untuk kita pengganjal perut saat latihan. Bukan. Bukan pizza nya yang saya sayangkan, tapi bentuk perhatiannya yang saya lihat. Bahkan saat beranjak pulang, masih terlihat jelas wajah kekecewaan di wanita sarjana itu. Saya hanya menelan ludah.

Lain halnya dari perspektif para bawahan alias tim cabang. Mereka yang merasa diperlakukan tidak adil. Mereka yang merasa terus-terusan dipilih, terus-terusan diandalkan. Padahal gaji mereka juga tidak bertambah bila mengikuti event diluar tugas pokok sebagai teller/costumer service. Pernah rekan sebelah saya berkata “Beginilah bekerja dilingkungan seperti ini. Kalo lu terlalu lembek dan baik, pasti lu terus yang dimanfaatkan”. Dan kalimat itu memang ada benarnya, karena saya melihat sendiri ibu pimpinan yang terkesan pilih kasih bila mengenai pembagian tugas. Bahkan kita semua tahu jelas bahwa ia memiliki anak kesayangan yang pekerjaannya tidak akan pernah ditambah. Belum lagi porsi pekerjaan teller di cabang tempat saya sangat berat dibandingkan cabang lain. Bukan maksud untuk membandingkan, tetapi memang dirasakan ketidakadilan ini menyebalkan. Tidak heran bila banyak yang memilih atau sekedar bercanda berdoa minta dipindahkan ke tempat lain. Saya melihat begitu bekerja kerasnya tim teller yang selalu disalahkan bila terjadi sesuatu. Yang selalu ditunjuk ini itu, yang selalu merasa terbebani oleh beban yang seharusnya tidak kita panggul sendirian.


Saya hanya berharap, bahwa kita tim selalu bekerja kompak dan tetap bekerja keras. Tidak terpecah-pecah. Walaupun harus mengakui sulit untuk menyatukan jenis tim seperti yang saya miliki ini. Ah, munafik bila saya tidak mengakui jealous dengan tim dari cabang lain saat melihat mereka tampil dalam DFL. Tampaknya begitu seru melihat kebersamaan dan tertawa bersama dengan segelas air meneral dan seragam yang masih melekat lengkap di badan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar