Akhir-akhir ini saya tidak
sempat update blog pribadi,
padahal otak rasanya tidak kuat menahan ide dikepala dan hati tidak
kuat menahan curahan yang hendak tumpah. Pun alasan saya tidak sempat
masih berhubungan dengan kesibukkan pekerjaan dan kuliah. Maklum saja
dua bulan belakangan saya masih proses adaptasi dilingkungan bekerja
yang baru, di bidang perbankan. Bidang yang bahkan saya sendiri tidak
pernah mencicipinya, yang rata-rata pekerjanya kuliah jurusan yang
bersangkutan (entah jurusan ekonomi, akuntansi walaupun sebenarnya
agak berbeda dengan perbankan dsb). Belum lagi jam terbangnya yang
belum pernah saya rasakan di pekerjaan saya sebelumnya yakni bekerja
jam kantor, Senin-Jumat.
Saya
menjadi teller berblazer
biru di salah satu bank daerah Kota Tua. Lumayan dekat dari rumah
sehingga saya cukup bersyukur ditempatkan di daerah tersebut. Akan
selalu ada suatu hal yang menjadi 'pertama kali'. Kalimat
itu yang selalu saya ingat saat pertama kali terjun di cabang saya
yang memiliki gedung dengan tiga lantai itu. Dengan seragam hitam
putih dan badan kecil berambut pendek, saya tidak malu bertanya pada
senior-senior yang ada, mereka yang terlebih dahulu berkecimpung
dalam dunia teller.
Tidak
mudah. Dua kata yang cocok menggambarkan bagaimana pekerjaan seorang
teller itu. Lantas
bukan berarti sulit. Saya akui memang takjub melihat kelincahan
jari-jari para senior saya saat pertama kali tiba di cabang. Dengan
kecepatan seperti itu mereka sudah menyelesaikan transaksi dalam
hitungan detik.
Tapi....
kita akhiri basa-basi mengenai kehidupan pekerjaan menjadi teller.
Sesuai dengan judul post
ini, saya juga akan sharing
lingkungan tempat saya bekerja
ini. Mengapa saya sebut tempat? Karna tidak semua cabang memiliki
atmosfer yang sama. Sehingga saya hanya tok bercerita
tentang cabang saya.
First
of all, there something
wrong with this kind evironment. Saya
menyadari hal itu dikala sudah mendapatkan seragam. Saat saya juga
dituntut sudah menguasai semua transaksi kecuali valuta asing.
Pimpinan
cabang saya seorang wanita. Bila diperkirakan usianya mungkin sebaya
dengan Ibu saya, sekitar awal 40-an atau pertengahannya. Ia sosok
pemimpin yang bisa dibilang cuek. Sehingga tidak kaget bila
bawahannya (tim saya dan costumer service)
begitu sukar dengan dirinya. Hal tersebut terjadi yang mungkin saja,
hanya mungkin karena ibu pimpinan berambut panjang itu tidak dekat
dengan bawahannya. Ia jarang berbincang dengan bawahannya kecuali
bila terjadi sesuatu. Belum lagi sikapnya yang terlihat pilh kasih
dalam memberikan job desk kepada
para tim. Saya melihat ada sebuah kerenggangan hubungan antara
pimpinan berkulit putih ini dengan para bawahannya yang meliputi tim
teller dan costumer
service. Bahkan setiap petuah
ibu pimpinan selalu menjadi trending topic oleh
tim untuk dijadikan kata-kata olokkan. Misalnya,
sewaktu-waktu saya pernah mengikuti diskusi cabang untuk pembagian
job desk atau PIC dari
sebuah tugas. Saat itu kami juga sambil makan makanan ringan untuk
mengganjal perut karna tahu akan pulang lebih larut dari biasanya.
Saya yang terbiasa dengan budaya membiarkan atasan makan terlebih
dahulu cukup terkaget dengan tingkah para rekan saya. Mereka langsung
saja menyantap hidangan tersebut sambil berbicara mengenai usulan
salah satu anggota. Tidak membutuhkan waktu 15 menit makanan mereka
sudah habis, sementara ibu pimpinan saya baru memakan dua buah roti
bakar yang dipotong kecil-kecil. Saya pikir “Ah, apakah kita tidak
kehilangan respek dengan menghabiskan makanan duluan dan cuek
terhadap diskusi ini. Sementara pimpinan kita begitu hikmat
mendengarkan tiap kata yang kita ucapkan?”. Kejadian lainnya, belum
lama ini terjadi.
Saat kami di tuntut untuk tampil dalam acara DFL
(Diskusi Frontliner). Kebetulan
jam latihan kami bentrok dengan jam diskusi asuransi saat itu.
Beberapa tim bahkan menolak mentah-mentah untuk latihan karena tidak
mau pulang larut. Benarlah itu terjadi. Setelah diskusi asuransi yang
selesai jam 6 sore, semua tim kompak beranjak dari tempat duduk dan
mengambil tasnya untuk pulang. Bahkan menghindari pertanyaan ibu
pimpinan yang bertanya mengenai latihannya. “Kita gak latihan?”
tanya saya, yang kemudian dijawab dengan pertanyaan lain “Lu mau
pulang malem? Gue sih ogah!”. Padahal... ibu pimpinan sudah
menyiapkan pizza hangat untuk kita pengganjal perut saat latihan.
Bukan. Bukan pizza nya yang saya sayangkan, tapi bentuk perhatiannya
yang saya lihat. Bahkan saat beranjak pulang, masih terlihat jelas
wajah kekecewaan di wanita sarjana itu. Saya hanya menelan ludah.
Lain
halnya dari perspektif para bawahan alias tim cabang. Mereka yang
merasa diperlakukan tidak adil. Mereka yang merasa terus-terusan
dipilih, terus-terusan diandalkan. Padahal gaji mereka juga tidak
bertambah bila mengikuti event diluar
tugas pokok sebagai teller/costumer service. Pernah
rekan sebelah saya berkata “Beginilah bekerja dilingkungan seperti
ini. Kalo lu terlalu lembek dan baik, pasti lu terus yang
dimanfaatkan”. Dan kalimat itu memang ada benarnya, karena saya
melihat sendiri ibu pimpinan yang terkesan pilih kasih bila mengenai
pembagian tugas. Bahkan kita semua tahu jelas bahwa ia memiliki anak
kesayangan yang pekerjaannya tidak akan pernah ditambah. Belum lagi
porsi pekerjaan teller di
cabang tempat saya sangat berat dibandingkan cabang lain. Bukan
maksud untuk membandingkan, tetapi memang dirasakan ketidakadilan ini
menyebalkan. Tidak heran bila banyak yang memilih atau sekedar
bercanda berdoa minta dipindahkan ke tempat lain. Saya melihat begitu
bekerja kerasnya tim teller yang
selalu disalahkan bila terjadi sesuatu. Yang selalu ditunjuk ini itu,
yang
selalu merasa terbebani oleh beban yang seharusnya tidak kita panggul
sendirian.
Saya
hanya berharap, bahwa kita tim selalu bekerja kompak dan tetap
bekerja keras. Tidak terpecah-pecah. Walaupun harus mengakui sulit
untuk menyatukan jenis tim seperti yang saya miliki ini. Ah, munafik
bila saya tidak mengakui jealous
dengan
tim dari cabang lain saat melihat mereka tampil dalam DFL. Tampaknya
begitu seru melihat kebersamaan dan tertawa bersama dengan segelas
air meneral dan seragam yang masih melekat lengkap di badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar