Menurut Joko Anwar, pada
hakikatnya arti movie dan
film itu
sama. Tetapi, adapula artian yang mengacu bahwa movie lebih ke bentuk
profit hiburan, sedangkan film sendiri lebih mengutamakan seni
artistiknya. Well, apapun
itu saya tetap menganggap kedua istilah tersebut sama, dijudul saya
akan menggunakan tag movie dan saat pembahasannya menggunakan kata
film (agar lebih mudah).
Setelah
hari sabtu lalu saya menonton Bilocation (secara tidak sengaja),
rupanya Waku Waku Japan juga akan menayangkan film horror lainnya di
hari minggu. What I Long
For, demikian judul yang
tertera pada channel di tv kabel tersebut. Tak puas dengan informasi
yang tercantum di tv, saya bersusah payah mencari ke om
gugel dan yang saya dapatpun
sama informasinya mengenai film yang dirilis tahun 2013. Kecewa. Dan
ternyata film ini lebih dikenal dengan judul Seki
Seki Ren Ren atau Deep
Red Love.
Selintas
penonton hanya disuguhkan kehidupan gadis sekolah menengah yang biasa
bernama Juri. Menggunakan seragam outer
cokelat, ia berkeliling dari rumah hingga ke gedung sekolahnya. Duduk
dikursi belakang tempatnya dan menguping gosip para gadis yang tengah
bolos di ruang olahraga. Mungkin kita sudah mengira bahwa Juri ini
adalah roh, dan itu benar sekali. Ia juga baru menyadari dirinya
sudah mati karena bunuh diri lompat dari atap sekolah pun lupa, apa
alasan ia bunuh diri?.
Selain
dirinya yang kini bergentayangan dan tidak dapat berkomunikasi dengan
siapapun (termasuk menyentuh benda), ia juga dapat melihat “sesuatu”
yang berusaha membujuk manusia untuk bunuh diri bila dalam kondisi
paling depresi. Juri menyebutnya Manusia Serangga, karena
memang bentuknya menyerupai serangga.
Mungkin
bagi penonton awam film yang disutradarai oleh Kazuya Konaka ini
terasa membosankan, karna melulu menyajikan Juri yang tengah
berjalan-jalan. Belum lagi monolog-monolog yang terasa sukar dicerna.
Padahal sungguh, film ini sangat bagus. Menurut saya, sebuah film
yang bagus ialah saat kita sudah menontonnya hingga habis, film
tersebut meninggalkan kesan tersendiri bagi kita hingga membawa
pikiran kita tetap melayang dikala berbaring dikasur.
Kehidupan
Juri sejatinya sudah sempurna,
memiliki pribadi yang
likeable dan pemberani
yang membuatnya terlihat menyenangkan dijadikan teman. Ia juga
memiliki seorang crush di
kelasnya yang merupakan teman sejak kecil. Tak ketinggalan juga ia
dibesarkan oleh cinta kasih ibunya yang perhatian. Sosok gadis yang
pasti ada di sekitar kita, sosok yang mungkin dulu adalah teman
sekolah kita. Lantas saat kita disuguhkan kehidupan sempurna
sedemikian indahnya, kita penonton akan bertanya-tanya mengapa Juri
berpikiran begitu dangkal hingga memutuskan bunuh diri? Meninggalkan
orang-orang yang menyayanginya.
“ Apakah ini sebuah
hukuman yang harus diterima atas perbuatanku? Tetapi, siapa yang
menghukumku? Tuhan? Aku sudah mencari kemanapun, Ia tetap tidak
menampakkan diri. Tuhan, jika memang Kau ada, mengapa kau melakukan
ini? Mengapa hanya aku? “
Film
yang diangkat dari novel karya Minato Shukawa dengan judul yang sama
ini juga diisi oleh para aktris yang handal dalam memainkan perannya
masing-masing. Tao Tsuchiya selaku Juri sukses membuat saya ikut
merasakan depresi melihatnya, seakan kita juga dapat merasakan betapa
kesepiannya bila sendirian di dunia besar ini. Belum lagi, perubahan
pribadinya yang dari seorang energik menjadi introvert karena
perasaan frustasi. Saya suka bagaimana sutradara Konaka dan penulis
Shukawa membuat gambaran bahwa semua
kehidupan yang terlihat sempurna belum tentu dirasakan sempurna oleh
yang merasakannya (baca: pelaku).
Yang pada intinya, hal ini merujuk pada manusia tidak pernah merasa
puas dan selalu dirundung keresahan yang tidak berarti.
Belum
lagi adegan yang diputarkan sebuah lagu berbahasa Inggris seperti musik video, (yang
sayangnya saya tidak tahu judul lagu tsb) disaat Juri menjadi gamang
karena keberadaannya tidak dianggap. Seriously, adegan
itu benar-benar membuat kita merasakan betapa depresifnya Juri.
Tetapi, bukan berarti film ini mengajak kita untuk terus-terusan
berdepresi ria. Hingga Juri bertemu seorang gadis cilik, Ringo-chan.
Selain
Tao Tsuchiya yang memerankan Juri begitu indah, adapula wajah yang
tak asing dimata saya, yakni tokoh temannya, Midori. Yang diperankan
oleh Fumika Shimizu. Kebetulan saya juga pernah menyaksikan aktingnya
di drama I Love Tokyo Legend hehehe. Dan
Shimizu ini aktingnya berbeda sekali, bila di ILTL ia menjadi gadis
yang jutek dan galak, lain halnya di Seki Seki Ren Ren ini, ia
menjadi gadis pendiam, lemah yang jago masak. Sempurna bukan premis
persahabatan antara Juri dan Midori? Pasti sudah ratusan kali kita
temukan pertemanan macam seperti ini di manga
hahaha.
Ada
lagi jajaran aktris dan aktor yang mendukung ke”depresi”an film
ini, tokoh crush Juri,
ibunya Juri, Ringo-chan dan ibunya sungguh brilian memainkan perannya
masing-masing. Ditambah twist seorang tokoh di klimaks film. Perfect!
Tidak
ada lagi yang bisa saya gambarkan mengenai film ini, sejujurnya saya
pun kesulitan bagaimana memberikan deskripsi mengenai film yang
berdurasi 83 menit ini. I really love it, indeed. Saya
suka bingung bagaimana mendeskripsikan film yang benar-benar membuat
saya jatuh cinta. Saya yakin makna yang terdapat dalam film ini pun
tidak sedangkal ; jangan
bunuh diri, karena bunuh diri bukanlah sebuah jawaban untuk
permasalahan, karena ada juga kehidupan orang-orang yang ditinggal bunuh
diri, sebab betapapun depresinya, jangan pernah membiarkan Manusia
Serangga mengontrol diri kita, seperti apa yang terjadi pada Juri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar