You don't walk into love.
You fall in.
That's why
it's so hard to get out
Karna
sudah bolak-balik ke Gramedia, juga security
yang mungkin melototi
saya keluar-masuk, akhirnya saya putuskan mengikuti kata hati untuk
membawa novel bersampul gelap ini ke meja kasir.
Selintas
Carly memiliki hidup yang sempurna, memiliki orang tua penyayang,
calon tunangan yang tampan dan perhatian, dan dikelilingi
sahabat-sahabat yang selalu ada hingga wanita yang bergelar sarjana
ekonomi ini mampu bekerja di sebuah perusahaan terbaik di Asia
Tenggara. Dan kebetulan lainnya Carly harus bekerja dibawah divisi
leasing dengan
atasan yang super-duper dingin dan workholic,
Maggie. Yup! Dari
plotnya udah keliatan kalo ini akan menjadi
asmara antara pegawai
dan atasannya. Office
lady again. Satu-satunya
pembeda novel ini dengan kisah cinta yang disajikan terjadi antara
dua wanita. Carly dan Maggie.
Biasanya
ada dua alasan mengapa saya mengupas sebuah novel, pertama,
novel itu perlu di
apresiasi karena mampu membuat saya terbayang-bayang seusai menelan
habis novel tsb. Kedua,
novel itu membuka mata
saya pada pemahaman baru. Dan yang manakah novel Falling itu? Tidak
keduanya. Saya pun setengah hati membuat tulisan ini kawan -_-
Unik
sekali Rina Suryakusuma 'menggemblengkan' begitu saja bahwa tokoh
utama jatuh cinta dengan atasannya seorang lesbian
pada lembar pertama novel ini. Rasanya sudah lama saya tidak membaca
novel beralur campuran. Gaya penulis yang membuat cinta Carly
terhadap Maggie begitu simpel, dan straight
to the point. Tidak
dilebih-lebihkan, tidak dibuat extraordinary.
Kisah cinta dua wanita
sama lurus
nya dengan kisah pria-wanita. Kisah cinta yang mulai tumbuh karena
sebuah kerokan, that's
cute indeed.
Saya
mungkin terlalu memberikan ekspektasi tinggi terhadap novel terbitan
Metro Pop ini. Kenapa? Saking sederhananya kisah yang dipaparkan,
banyak hal yang berakhir buntu. Dan berujung kata; mem-bo-san-kan.
Ketika
membaca novel, bila saya mendapat suatu kondisi aneh biasanya saya
akan bertanya-tanya dan berharap menemukan jawabannya hingga akhir
lembar. Kalaupun tidak ada jawaban langsung, saya harap penulis tidak
membuat tulisannya menjadi terombang-ambing alias tidak jelas
maksudnya apa. Saya kecewa novel yang berjumlah 320 halaman ini malah
meninggalkan banyak pertanyaan dalam situasi yang seharusnya perlu
dijelaskan. Banyak hal yang terkesan diputuskan begitu saja, tidak
digali lebih dalam. Ibarat rambut, saya merasa penulis yang
seharusnya membiarkan rambutnya tumbuh panjang dan terurai begitu
saja, bukan malah memotong paksa beberapa helai, sehingga
membentuknya tidak rapi kembali. Meninggalkan kesan berantakan.
“
Tidak
ada keluarga yang suka putrinya jatuh cinta dengan sesama perempuan,
bukan menikah lalu hidup baik-baik. Percayalah, tak ada! Mereka ingin
anak mereka membentuk keluarga dan memiliki keturunan, calon cucu
yang akan mereka peroleh. Coming out, bukanlah sesuatu hal yang
mudah, Carly. Risikonya begitu besar. Kamu akan dijauhi. Kamu akan
dicibir oleh lingkunganmu. Bahkan mungkin, keluargamu tidak akan
mengakuimu sebagai anak lagi. “
Jujur,
saya kecewa sekali dengan Falling. Saya sampai bingung apa yang mau
dibahas dalam ulasan kali ini. Karna saya malas. Malas membahas novel
yang saya sendiri menyesal telah membelinya. Saya pikir seharusnya
penulis bisa membuat kegundahan Carly yang jatuh cinta dengan wanita
itu bukan lah sebuah pilihan. Apakah Carly yakin yang ia alami murni
sebuah cinta bukan karna hasrat ketertarikan seks yang kuat bersama
wanita lain? Apakah Carly tau bahwa mencintai wanita bukan hal yang
mudah? Bagaimana kegundahannya saya rasa lebih dari sekedar duduk
dikarpet kamar dan melamun membayangkan wanita pujaan hatinya.
Dan
lagi, untuk kesekian kalinya saya menemukan lesbian
yang lahir dari keluarga
tidak sempurna seperti Carly. Maksud saya, keluarga Carly tidak
benar-benar menyayanginya. Lihat saja pada halaman sekian dimana
penulis memaparkan bahwa ibu kandungnya pergi meninggalkannya. Dan
bagaimana ayahnya menanggapi Carly yang jatuh cinta dengan wanita
lain rasanya.. hampir sulit diterima. Satu-satunya kisah keluarga
yang logis ialah kisah hidup Maggie.
Selain
respon ayahnya, respon orang-orang sekitar Carly juga terkesan sulit
dicerna. Jo Anna yang 'katanya' teman dekat sejak SMA pun tidak
memberikan kontribusi besar dalam novel ini. Saya pikir perannya
sebagai sahabat tidak sungguhan. Saya tau, membandingkan suatu hal
memang tidak baik, tapi saya hendak memberi contoh kesuksesan
penggambaran sahabat yang mengetahui temannya seorang lesbian
yakni pada novel
20.30.40 Club Camilan, pada bagian karya Rara Pramesti. Dia begitu
baik menggambarkan penolakan seorang sahabat yang meninggalkan
pikiran rasionalnya mengenai seorang lesbian,
mengenai penetrasi yang
bukan dilakukan dengan jari.
Juga
saya merasa kasihan pada tokoh calon tunangannya, Seth. Mengapa ia
digambarkan sebagai pria yang jahat? Mengapa ia di ceritakan
bagian-bagian mengganggunya? Mengapa tunangannya begitu dibuat
seorang tokoh bawel yang menyebalkan? Untuk kesekian kalinya,
lagi-lagi seorang pacar digambarkan tidak baik, tidak 'sempurna',
seperti penggambaran tunangan Cinta di AADC 2. Saya pikir sekalian
saja tokoh utama dibuat men-phobia
karna ia menyadari selama ini ia jatuh cinta dengan pria yang salah.
Padahal akan lebih tepat bila pacar Carly tidak semata-mata hanya
di'munculkan' dalam sikap bawelnya.
Tapi yang lebih menyedihkan dan cringe worthy dengan kebuntuannya ialah, tokoh Laura. Yang katanya ex partner. Padahal bisa saja adanya tokoh Laura akan memberikan problematika tersendiri mengingat pengorbanannya telah dijelaskan oleh Maggie. Saya ingat dengan jelas, saya pikir penjabaran Maggie betapa banyaknya hal yang telah dikorbankan oleh Laura demi wanita yang ternyata meninggalkannya. Saya bahkan muak dengan penjelasan " Dia hanya mantan Carl! ". Yeah so what, Mag? Kamu bilang dia udah ngorbanin segalanya untukmu dan rasanya jahat sekali bila kamu meninggalkannya. Dan kamu gak mau ada wanita lain melakukan hal yg sama, tapi kamu malah bersama wanita yang gagal bertunangan?. Satu lagi potensi yang bisa digali mengalami kegagalan oleh penulis.
Tapi yang lebih menyedihkan dan cringe worthy dengan kebuntuannya ialah, tokoh Laura. Yang katanya ex partner. Padahal bisa saja adanya tokoh Laura akan memberikan problematika tersendiri mengingat pengorbanannya telah dijelaskan oleh Maggie. Saya ingat dengan jelas, saya pikir penjabaran Maggie betapa banyaknya hal yang telah dikorbankan oleh Laura demi wanita yang ternyata meninggalkannya. Saya bahkan muak dengan penjelasan " Dia hanya mantan Carl! ". Yeah so what, Mag? Kamu bilang dia udah ngorbanin segalanya untukmu dan rasanya jahat sekali bila kamu meninggalkannya. Dan kamu gak mau ada wanita lain melakukan hal yg sama, tapi kamu malah bersama wanita yang gagal bertunangan?. Satu lagi potensi yang bisa digali mengalami kegagalan oleh penulis.
Saya
mengerti Rina selaku penulis ingin membuat tulisannya terkesan akrab
dengan para pembaca, dengan latar belakang kantor kesibukan
sana-sini, maksud saya lesbian
mana yang gak akan nolak baca novel ini? Bahkan para hetero juga akan
tertarik dengan premis klise ini. Tapi salah satu yang harus diingat
ketika kita ingin membuat sesuatu sederhana ialah buatlah sejujur
mungkin, apa adanya tetapi tidak terkesan murahan. Jika menggambarkan
novel ini dengan sebuah film, maka film yang tepat ialah film lesbian
coming of age nya
Thailand yakni Yes Or No. Dimana novel ini dan film tsb memiliki
kesamaan yakni, memiliki premis yang biasa dan bermodalkan kisah
cinta lesbian yang
cantik dan tampan. Kisah klise. Romansa picisan. Yaa.. kalian tau,
hal klise itu masih dicintai publik, sementara saya.. membenci hal
klise.
Terakhir saya ingin mengapresiasi karya Rina Suryakusuma ini yang berani mengangkat topik tabu di tanah air. Terima kasih, semoga sukses dengan karya Gravity yang sempat membuat saya melirik ke cover orange hijau itu hehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar